JAKARTA – Setiap kali Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka Nilai Tukar Petani (NTP) yang memecahkan rekor, sebuah ritual rutin terjadi di Jakarta. Di podium kementerian, angka-angka itu dipoles menjadi spanduk keberhasilan: “Petani Makin Sejahtera”, “Kebijakan Tepat Sasaran”, atau “Swasembada di Depan Mata”. Sementara itu, ribuan kilometer dari podium tersebut, di sebuah warung kopi di perdesaan Merauke atau di pematang sawah Karawang, para petani mungkin menatap layar ponsel mereka dengan kening berkerut: “Kalau angka di berita naik terus, kenapa utang di kios pupuk saya tidak ikut lunas?”
Tahun 2025 ini, drama diskoneksi itu diputar dengan volume maksimal.
Data terbaru yang dirilis BPS memang mencengangkan. Sepanjang kuartal ketiga 2025, NTP nasional mendaki dengan percaya diri: dari 122,64 di bulan Juli, naik ke 123,57 di Agustus, hingga memuncak di angka keramat 124,36 pada September. Ini adalah rekor. Sebagai konteks, selama “dekade yang hilang” antara 2010 hingga 2019, NTP kita sering kali hanya berani malu-malu di kisaran 100 hingga 105. Tak jarang bahkan tergelincir di bawah 100.
Secara statistik, lompatan ke angka 120-an adalah sebuah outlier positif yang layak dirayakan. Namun, dalam ekonomi, “rata-rata” sering kali menjadi tempat persembunyian yang paling aman bagi ketimpangan. Apakah angka 124,36 ini bukti otentik bahwa petani kita mendadak kaya raya? Atau ini hanya statistik manis yang menyembunyikan realitas struktural yang jauh lebih tipis?
Mari kita bedah angka ini dengan kepala dingin, meletakkan euforia politik di laci, dan membacanya dengan kacamata ekonomi yang waras.
Anatomi Sebuah Rasio: Matematika Tanpa Empati
Sebelum kita terjebak dalam perdebatan, mari kita luruskan definisi makhluk bernama NTP ini. Sering kali, politisi membacanya seolah-olah ini adalah laporan laba-rugi perusahaan (“Profit naik!”). Padahal, NTP hanyalah rasio harga.
Bayangkan sebuah timbangan pasar. Di piringan kiri ada Indeks Harga yang Diterima Petani (It): ini adalah harga gabah, sawit, sapi, atau cabai yang mereka jual. Di piringan kanan ada Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib): ini adalah keranjang belanja mereka yang berisi beras untuk makan, uang sekolah anak, pulsa data, rokok, serta biaya produksi seperti pupuk urea, sewa traktor, dan upah buruh tani.
Rumusnya brutal dan sederhana:
NTP = (It / Ib) x 100
Keterangan:
- It = Indeks Harga yang Diterima Petani (Pemasukan)
- Ib = Indeks Harga yang Dibayar Petani (Pengeluaran)
Jika angkanya 100, petani impas. Kenaikan harga panen mereka habis dimakan inflasi. Jika di atas 100—seperti angka 124,36 di September 2025 ini—berarti secara agregat, harga jual produk pertanian naik jauh lebih cepat daripada biaya hidup mereka. Daya tukar (terms of trade) membaik.
Namun, di sinilah letak jebakan pertamanya: NTP adalah rasio harga, bukan nominal pendapatan.
Seorang petani gurem dengan lahan 0,2 hektare bisa saja memiliki NTP 150 (sangat tinggi) karena harga cabainya melonjak drastis. Tapi jika ia hanya memanen 10 kg cabai karena sisanya busuk dimakan hama, rasio tinggi itu tidak bisa dimakan. Pendapatan totalnya (Total Revenue) tetap rendah. NTP buta terhadap volume produksi dan luas lahan. Ia tidak peduli apakah Anda tuan tanah dengan 100 hektare sawit atau buruh tani yang menyewa lahan sempit.
Tes Darah, Bukan Rontgen Seluruh Badan
Metafora yang paling tepat untuk NTP bukanlah “skor akhir pertandingan”, melainkan tes darah nasional.
Ketika dokter mengatakan kadar hemoglobin Anda normal, itu kabar baik. Itu sinyal positif bahwa tubuh Anda berfungsi. Tapi, tes darah tidak bisa memberi tahu dokter apakah Anda memiliki kaki yang patah (utang menumpuk), apakah Anda menderita depresi (ketidakpastian iklim), atau apakah rumah Anda bocor (infrastruktur irigasi rusak).
Begitu pula dengan NTP rekor 2025. Angka 124 memberi tahu kita satu hal spesifik: daya tukar harga sedang menguntungkan sektor pertanian.
Ini adalah indikator bahwa insentif harga sedang bekerja. Petani punya alasan rasional untuk pergi ke sawah karena harga jualnya menarik. Pemerintah patut mendapat kredit karena berhasil menjaga inflasi perdesaan (Ib) tetap terkendali. Fakta bahwa Ib hanya naik tipis (0,08% di September) sementara It melesat (0,71%) menunjukkan bahwa harga barang-barang di desa tidak “menggila”.
Namun, NTP tidak mendiagnosis kesehatan petani secara utuh. Ia bisu soal akses lahan. Ia tuli soal regenerasi petani muda yang macet. Dan yang paling fatal, ia sering kali buta terhadap nasib mereka yang tak punya tanah garapan.
Ilusi Agregat: Kisah Dua Kota dan Dua Nasib
Jika kita mengupas kulit bawang statistik ini lebih dalam, kita akan menemukan bahwa NTP “Nasional 124,36” adalah blender raksasa yang mencampurkan nasib petani yang sedang pesta pora dengan mereka yang sedang menangis.
Data BPS bulan September 2025 menyajikan kontras yang menampar wajah narasi keseragaman.
Di satu sudut, lihatlah Provinsi Papua Barat Daya. NTP mereka melonjak 5,62% dalam sebulan. Kemungkinan besar, ini didorong oleh komoditas perkebunan atau perikanan yang harganya sedang boom. Di sana, narasi “petani sejahtera” mungkin terasa nyata.
Namun, geser sedikit peta Anda ke Provinsi Papua Selatan. Wilayah yang digadang-gadang sebagai lumbung pangan masa depan (food estate) ini justru mencatat penurunan NTP terdalam se-Indonesia, anjlok hingga minus 4,93%. Di saat Jakarta merayakan rekor nasional, petani di Merauke justru mengalami kemerosotan daya tukar yang tajam.
Pola serupa terjadi di bulan Agustus. Bengkulu (basis sawit/karet) menikmati kenaikan hampir 4%, sementara Bali (basis hortikultura) terperosok minus 2,69% hanya karena harga tomat atau cabai jatuh.
Ini mengajarkan kita bahwa “Kesejahteraan Petani Indonesia” adalah mitos. Yang ada adalah kesejahteraan petani sawit Riau, penderitaan petani tomat Bali, atau perjuangan petani padi Jawa. Menyamaratakan mereka ke dalam satu angka 124 adalah bentuk kemalasan intelektual yang berbahaya bagi pembuat kebijakan.
Paradoks Buruh Tani dan “Uang Numpang Lewat”
Ada satu lapisan lagi yang sering dilupakan: kelas pekerja di dasar piramida.
Kenaikan NTP tanaman pangan sering kali didorong oleh kenaikan harga beras/gabah. Bagi petani pemilik lahan yang surplus beras, ini berkah. Tapi ingat, mayoritas penduduk desa adalah buruh tani atau petani gurem yang merupakan net-consumer beras. Mereka menanam padi, menjualnya segera untuk bayar utang, lalu harus membeli beras di pasar saat paceklik.
Ketika harga jual naik karena harga pangan mahal, NTP naik. Pemerintah senang. Tapi bagi buruh tani yang tak punya lahan, kenaikan harga beras adalah bencana jika tidak diikuti kenaikan upah riil yang setara.
Seringkali, yang terjadi adalah fenomena “uang numpang lewat”. Petani menerima uang lebih banyak dari penebas, tapi uang itu langsung berpindah tangan ke pemilik tanah (sewa lahan naik), ke kios pertanian (harga obat-obatan naik), dan ke pasar (biaya hidup naik). Di atas kertas statistik BPS, daya beli mereka menguat. Realitas di rumah, sisa uang tunai (disposable income) yang bisa ditabung untuk menyekolahkan anak ke kota mungkin tak berubah banyak.
Menolak Obat Penenang
Lalu, apakah kita harus sinis total dan menganggap rekor NTP 2025 ini omong kosong? Tentu tidak. Itu sikap yang sama ekstremnya dengan optimisme buta.
Pencapaian NTP 124,36 harus diakui sebagai “jendela peluang” (window of opportunity). Ini adalah momen di mana sektor pertanian sedang menarik secara finansial. Uang sedang berputar di desa. Dealer motor, toko bangunan, dan pasar kecamatan kemungkinan besar sedang bergairah.
Namun, pemerintah harus berhenti menjual NTP sebagai obat penenang publik. Narasi “NTP Rekor = Tugas Selesai” adalah racun. Justru di saat harga sedang bagus inilah pemerintah harus bekerja dua kali lebih keras untuk membenahi hal-hal yang tidak bisa diselesaikan oleh harga: irigasi yang rusak, logistik yang mahal, dan perlindungan asuransi gagal panen.
Cara waras membaca NTP 2025 adalah dengan melihatnya sebagai tes darah awal, bukan diagnosis lengkap.
Jangan hanya terpukau pada angka 124. Sandingkan ia dengan NTUP (Nilai Tukar Usaha Pertanian) untuk melihat efisiensi murni usaha. Sandingkan dengan data produksi tonase untuk memastikan kita tidak sedang merayakan kenaikan harga di atas kelangkaan barang. Dan yang terpenting, tanyakan pada petani di Papua Selatan atau Bali: apakah rekor nasional ini mampir ke dompet mereka?
Karena pada akhirnya, sejarah pertanian kita penuh dengan grafik yang mendaki, namun diakhiri dengan jumlah petani yang terus menurun. Angka rekor tidak akan berarti apa-apa jika anak-anak muda desa tetap memilih menjadi buruh pabrik atau ojek online di kota, karena mereka tahu: di sektor ini, rekor statistik seringkali hanyalah realita yang tipis.






