Potret Pendidikan 2025: 4 dari 10 Pelajar Harus Bekerja

JAKARTA – Pendidikan adalah pilar utama kemajuan bangsa, namun apa yang kita asumsikan tentang kondisinya seringkali tidak sejalan dengan kenyataan. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2025 menyajikan potret pendidikan nasional yang penuh dengan realita tak terduga. Artikel ini akan mengupas temuan paling mengejutkan yang menantang pandangan umum kita tentang dunia pendidikan di Indonesia.

 

Ironi: Infrastruktur Sekolah SD Paling Memprihatinkan

Banyak yang mengira masalah infrastruktur lebih parah di jenjang sekolah menengah. Namun, data menunjukkan hal sebaliknya. Sementara jenjang SMP, SMA, dan SMK memiliki lebih dari 50 persen ruang kelas dalam kondisi baik, angka untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) justru yang paling rendah, yaitu hanya 39,68 persen.

Kondisi Ruang Kelas Menurut Jenjang Pendidikan Tahun Ajaran 2024/2025. (Sumber: BPS)

Temuan ini mengungkap sebuah pola yang mengkhawatirkan: investasi pada fondasi pendidikan kita tampaknya belum menjadi prioritas. Kondisi fisik yang paling memprihatinkan justru ditemukan di tingkat paling awal, di mana siswa seharusnya mendapatkan lingkungan terbaik untuk bertumbuh. Seperti yang akan kita lihat, masalah di titik awal ini diperparah oleh tantangan partisipasi di tingkat prasekolah.

 

Paradoks Putus Sekolah: Lulus SD Mudah, Tamat SMA/SMK Masih Jauh dari Harapan

Secara intuitif, kita mungkin berpikir bahwa setelah berhasil melewati jenjang awal, menyelesaikan pendidikan hingga tuntas akan lebih mudah. Data menunjukkan sebuah paradoks yang tajam: semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah tingkat penyelesaiannya.

  • Tingkat penyelesaian SD: 97,65 persen
  • Tingkat penyelesaian SMP: 91,45 persen
  • Tingkat penyelesaian SMA/SMK: hanya 73,90 persen

Tingkat Penyelesaian Pendidikan Menurut Jenjang Indonesia 2025. (Sumber: BPS)

Pola ini menyoroti bahwa tantangan terbesar justru muncul di tingkat menengah. Lulus SD hampir menjadi kepastian, namun lebih dari seperempat siswa yang seharusnya lulus SMA/SMK tidak berhasil menamatkannya. Penurunan drastis ini mengindikasikan adanya tembok penghalang yang besar, terutama yang bersifat ekonomi, yang memaksa siswa keluar dari sistem pendidikan.

 

Realita: SMA dan SMK Didominasi Sekolah Swasta

Asumsi umum adalah bahwa sekolah negeri menjadi tulang punggung utama sistem pendidikan di semua jenjang. Data mematahkan asumsi ini. Sementara sekolah negeri memang mendominasi jenjang SD dan SMP, situasinya berbalik total di jenjang menengah, di mana sekolah swasta mendominasi penyelenggaraan pendidikan di jenjang SMA dan SMK.

Distribusi Sekolah Menurut Status (Negeri vs Swasta) Tahun Ajaran 2024/2025. (Sumber: BPS)

Temuan ini menjadi kepingan puzzle penting untuk memahami paradoks putus sekolah. Ketergantungan yang besar pada sektor swasta di tingkat menengah memunculkan pertanyaan krusial tentang aksesibilitas dan biaya. Apakah ini menjadi salah satu faktor ekonomi yang memberatkan keluarga dan mendorong siswa untuk memilih bekerja ketimbang melanjutkan sekolah?

 

4 dari 10 Pelajar Indonesia Harus Bekerja

Pada tahun 2025, sebanyak 40,76 persen peserta didik berusia 10–23 tahun juga bekerja. Angka ini bukanlah anomali, melainkan gambaran nyata dari tekanan ekonomi yang dihadapi jutaan pelajar Indonesia.

Distribusi Pelajar Usia 10-23 Tahun Menurut Kegiatan Selain Bersekolah 2025. (Sumber: BPS)

Data di atas memberi dua konteks penting: —persentase siswa yang bekerja semakin tinggi seiring naiknya jenjang pendidikan–, dan —angka ini lebih tinggi pada siswa laki-laki–. Ini adalah mesin di balik paradoks putus sekolah. Tekanan ekonomi yang memaksa siswa bekerja meningkat seiring bertambahnya usia, tepat ketika mereka memasuki jenjang SMA/SMK yang didominasi swasta. Beban ganda antara sekolah dan mencari nafkah menjadi kenyataan pahit yang membuat ijazah SMA/SMK terasa semakin jauh dari jangkauan.

Persentase Pelajar yang Bekerja Menurut Jenjang Pendidikan 2025. (Sumber: BPS)

 

Catatan Akhir

Melihat kondisi ini, data tersebut dapat menjadi penunjuk arah bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan dan langkah perbaikan yang tepat untuk menyiapkan “Generasi Indonesia Emas”. Pertanyaannya kini adalah: langkah kebijakan apa yang seharusnya diprioritaskan agar setiap anak Indonesia benar-benar mendapatkan akses pendidikan yang layak dan dapat menyelesaikannya hingga tuntas?

Dunia Kerja Indonesia: Lulusan SMK Paling Sulit Dapat Kerja?

Artikel sebelumnya

Baca Juga