JAKARTA – You are what you eat, kata ungkapan lama. Bagi zaman modern, idiom ini agaknya perlu dilengkapi: Anda adalah apa yang Anda hirup.
Ancaman bagi kesehatan kini bukan hanya datang dari makanan atau minuman, tapi juga udara yang kita hirup. Kian hari, keganasan polusi udara semakin mencemaskan.
Data IQAir, sebuah perusahaan teknologi dari Swiss yang fokus pada kualitas udara, mencatat tingkat polusi di Indonesia terus memburuk.
Untuk pertama kalinya sejak lima tahun terakhir, rata-rata tahunan kadar polutan PM2.5 mencapai 71,7 mikrogram per meter kubik (µg/m3), pada 2023 lalu. Rekor ini terekam di stasiun pencatatan Tangerang Selatan.
Sebelumnya, kadar rata-rata tahunan PM2.5 tertinggi berturut-turut tercatat di Bekasi (62,6 µg/m3), Pekanbaru (52,8 µg/m3), dan Pontianak (49,7 µg/m3). Ketiganya terpantau pada 2019 ketika musim kemarau panjang dan kebakaran hutan menghebat di Sumatera dan Kalimantan.
PM2.5 merupakan polutan mikro sebesar sepertigapuluh diameter rambut yang saking kecilnya dapat lolos dari saringan mukosa di saluran pernafasan, bahkan menerobos masuk sampai ke alveoli, ranting terkecil di paru-paru yang memasok oksigen ke pembuluh darah.
Polutan udara ini dapat berasal dari pembangkit listrik, kendaraan bermotor, asap dan debu industri, pesawat terbang, atau asap kebakaran hutan.
Dampak PM2.5 mungkin tak langsung terasa, tapi para peneliti percaya risikonya terhadap kesehatan dapat muncul lama setelah paparan terhenti.
Meski banyak hal belum dipahami sepenuhnya –seperti bagaimana persisnya polutan bergerak melalui pembuluh darah dan mengancam kesehatan– sejumlah studi menunjukkan hubungan antara paparan polusi udara dan risiko serangan jantung, stroke, komplikasi kehamilan dan persalinan, juga masalah kesehatan mental, dan beberapa jenis kanker.
Para dokter di California melaporkan peningkatan 43 persen pasien stroke dan gangguan jantung ketika wilayah itu dikepung kebakaran hutan selama berminggu-minggu pada Agustus 2020.
Ambang batas bahaya
Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan untuk membatasi PM2.5 hingga rata-rata 5 µg/m3 per tahun. Target PM2.5 rata-rata harian yang aman harus kurang dari 15 μg/m3.
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membuat lima kategori konsentrasi PM2.5, dengan ambang batas tidak sehat mulai dari 55,5 µg/m3 ke atas.
Namun, jauh lebih penting dari lonjakan sesaat, paparan PM2.5 yang persisten, terus menerus dapat memberikan dampak kesehatan yang sangat serius.
Rata-rata tahunan 71,7 μg/m3 –atau 29% melampaui ambang batas tak sehat BMKG– yang terekam di Tangsel sepanjang 2023, harus menjadi alarm bahaya agar kita segera bertindak.