JAKARTA – Di bidang tenaga kerja, pemerintahan Prabowo Subianto memiliki pekerjaan rumah yang berat. Tingkat pengangguran memang cenderung turun, tapi sebagian besar pekerja terserap di sektor informal. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya lapangan kerja di sektor formal untuk mempercepat pengentasan kemiskinan.
Porsi pekerja formal yang anjlok sejak pandemi, memang mulai berangsur merayap naik, tapi masih jauh dari porsi sebelum Covid.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belakangan ini marak, disertai terbatasnya lapangan kerja formal, berpotensi membuat porsi tenaga kerja sektor informal kian dominan.
Pekerja formal adalah mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai atau mereka yang membuka usaha dan dibantu oleh buruh tetap atau buruh yang dibayar. Pekerja formal bukan hanya mendapatkan gaji tetap, tapi juga perlindungan hukum dan sosial.
Sementara itu pekerja informal merupakan pekerja bebas atau pekerja dari usaha keluarga yang tidak dibayar. Pekerja informal bisa saja membuka usaha, tapi mereka dibantu oleh buruh tidak tetap atau buruh yang tidak dibayar.
Pekerja informal umumnya melakukan tugas-tugas yang tidak memerlukan keahlian, keterampilan, atau pendidikan khusus. Semua orang dapat mengerjakannya. Karena itu, upahnya cenderung lebih kecil, dan tidak ajeg.
Pekerja informal menjadi rentan karena tak memiliki penghasilan pasti, tak dilindungi asuransi, dan sulit mencari akses keuangan. Buruh harian, pekerja serabutan, buruh borongan pabrik, tukang ojek, atau tukang panggul, termasuk dalam kelompok ini.
Menurut Segara Research Institute pertumbuhan angkatan kerja baru mencapai 3-4 juta orang per tahun. Sementara itu, ketersediaan lapangan kerja formal hanya tumbuh 1 juta per tahun.
Ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan kerja formal dan pertumbuhan angkatan kerja ini membuat sektor informal menjadi pilihan penopang biaya hidup.