JAKARTA – Akhirnya Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan 0,25 persen untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang tampaknya betah di atas Rp16 ribu per dolar Amerika Serikat. Upaya ini semacam penjelasan kepada para investor bahwa membenamkan uangnya pada instrumen investasi bermata uang rupiah tetap menarik.
Menurut data BI, rupiah mulai tak terkendali, yakni tembus di atas Rp16 ribu per dolar sejak 16 April tahun ini. Sekitar setahun sebelumnya, 26 Juni 2023, rupiah pertama kali bertengger di kisaran Rp15 ribu per dolar.
Angka Rp16 ribu per dolar ini merupakan kedua kali terjadi sepanjang sejarah. Pertama kali terjadi pada 20 Maret 2020, yang kemudian mencapai nilai terendahnya pada 2 April, yaitu di posisi Rp16.741 per dolar.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tentu bakal membuat banyak pengusaha meradang. Termasuk industri tekstil, yang hasil produksinya digunakan masyarakat sehari-hari. Maklum, masih banyak bahan baku yang harus didatangkan dari luar negeri seperti berbagai benang, serat, dan lain-lain. Dengan demikian, biaya bahan baku akan naik. Ujung-ujungnya, harga jual akan naik yang berpotensi menekan daya beli masyarakat.
Belakangan ini, tampaknya para investor kurang bergairah dengan instrumen investasi di pasar keuangan Indonesia yang bermata uang rupiah. Mereka, yang biasa dikenal dengan istilah non-residen itu, lebih banyak melakukan aksi jual terhadap instrumen investasi yang sebelumnya digenggam.
Bahkan dalam 66 minggu terakhir atau sejak Januari 2023, pertengahan April 2024 mencatat sejarah: pelarian modal terbesar dari pasar keuangan Indonesia. Nilainya secara keseluruhan mencapai Rp21,5 triliun.
Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari surat utang pemerintah atau surat berharga negara (SBN). Pada pertengahan April tersebut, terjadi aksi lepas SBN oleh investor asing yang nilainya mencapai Rp9,8 triliun atau 45,6 persen dari total dana keluar dari Indonesia.
Kontributor kedua hengkangnya dana asing itu berasal dari transaksi di pasar sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI). Pada tengah minggu April 2024 itu, terjadi aksi jual bersih investor asing yang mengoleksi SRBI senilai Rp8,0 triliun atau 37,3 persen dari akumulasi dana asing yang keluar. Sisanya dari pasar saham yang senilai Rp3,7 triliun atau 17,1 persen.
SRBI ini merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Jaminannya atau underlying aset instrumen tersebut adalah surat berharga milik bank sentral.
Dengan demikian, SRBI ini merupakan instrumen dalam operasi moneter BI, terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Semakin banyak SRBI keluar atau diterbitkan, itu berarti BI sedang intervensi pasar agar kurs rupiah tidak kedodoran.
Aksi jual surat utang pemerintah yang menjadi penyumbang pelarian modal terbesar itu, mungkin menyimpan pesan penting: tawaran imbal hasil bukan segala-galanya bagi para pemilik modal, khususnya di pasar keuangan.
Investasi mungkin tidak mengenal urusan ramah-tamah yang diperlihatkan melalui tawaran imbalan. Ini soal kenyamanan: aman dan laba.
Buktinya sederhana. Imbal hasil yang ditawarkan oleh SBN jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran dari Amerika. Selisihnya bisa mencapai tiga persen. Bukan angka kecil untuk ukuran investasi yang nilainya triliunan rupiah.
Boleh jadi, para investor berpikir, buat apa mengoleksi SBN kalau nilai tukar rupiahnya melorot terus. Hasil investasi berbunga tinggi dalam mata uang rupiah, dengan sendirinya akan terkoreksi saat harus dikonversi ke dalam instrumen investasi lain yang menggunakan standar dolar.
Aksi pelarian dana asing merupakan isyarat bahwa menanamkan modal dalam instrumen investasi bermata uang rupiah sedang tidak menguntungkan. Ini bukan urusan nasionalisme, tapi sekadar pertimbangan mencari laba yang lebih besar atau minimal, mengamankan dana yang dikelola untuk investasi.
Jika bagi investor pasar keuangan hanya soal mencari laba maksimal, ceritanya bisa berbeda bagi masyarakat umum. Semakin banyak dana undur diri dari Indonesia, posisi rupiah akan semakin lemah. Selanjutnya adalah harga barang yang semakin mahal.