JAKARTA – Serangan balasan Israel ke Iran membuat pasar keuangan semakin muram. Setidaknya di Indonesia, aksi jual mewarnai perdagangan di Bursa Efek Indonesia. Di pasar valuta, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat loyo.
Pada penutupan perdagangan akhir minggu lalu, yakni Jumat (19/4), indeks harga saham gabungan ditutup melemah 1,11 persen. Sementara rupiah masih bertahan dengan kurs yang kedodoran, di atas Rp16 ribu per dolar.
Di tengah guncangan yang berpotensi menimbulkan krisis global, termasuk dari sisi rantai pasok maupun ketersediaan komoditas seperti energi di pasar, bayang-bayang inflasi sulit ditepis. Rencana bank sentral negara maju seperti Amerika Serikat menurunkan suku bunga pun bisa tertunda.
Dalam situasi seperti itu, para investor tampaknya ramai-ramai menyelamatkan dana investasinya. Tak hanya masuk ke instrumen dalam denominasi dolar, tetapi juga memburu logam mulia atau sebut saja emas yang dikenal sebagai safe heaven atau tempat melindungi investasi dari penurunan nilai.
Seperti dilansir kantor berita Reuters, di pasar spot pada Jumat lalu, harga emas melengkapi kenaikannya berturut-turut dalam lima minggu terakhir. Posisinya pun makin kokoh, seiring dengan kekhawatiran pada investor akibat dari perang Iran-Israel.
Pada sesi siang, harga emas dikabarkan naik 0,7 persen, dan bertengger di posisi US$2.378,30 per ounce atau setara dengan 28,3 gram. Pada sesi hari yang sama pagi hari, bahkan harganya sempat menyentuh US$2.417,59.
Bahkan di dalam negeri, harga emas batangan bersertifikat Antam keluaran Logam Mulia PT Aneka Tambang Tbk semakin mengkilap. Pada Jumat tersebut, per gramnya dijual seharga Rp1.345.000, baik Rp10 ribu dari sehari sebelumnya.
Ketegangan Iran-Israel seperti melengkapi kekhawatiran para pengelola modal untuk meneguhkan sikapnya, yakni menambah keranjang emas dalam investasinya. Harga komoditas tersebut secara konsisten bertahan di atas dua ribuan dolar per troy oz atau sekitar 31,1 gram sejak Desember 2023.
Pilihan menyelamatkan dana investasi pada instrumen emas memang sudah lazim. Komoditas tersebut terbukti mampu melindungi nilai investasi dari koreksi inflasi, bahkan menjadi penopang di tengah dinamika di pasar keuangan.
Dalam 20 tahun terakhir (Maret 2004-Maret 2024), Bank Dunia (World Bank) mencatat, kenaikan harga emas secara tahunan atau year on year -biasa dijadikan ukuran imbal hasil-, rata-rata 9,9 persen setiap tahun. Jauh di atas inflasi Indonesia, atau bahkan dari suku bunga tabungan maupun deposito dan surat berharga negara.
Karena itu, tak heran jika yang berburu emas bukan hanya dilakukan para investor atau pun pemilik dana, tetapi juga bank sentral. Pada 2023, World Gold Council mencatat, Amerika Serikat menjadi negara dengan timbunan emas terbanyak. Komoditas tersebut merupakan bagian dari cadangan devisa negara tersebut. Jumlahnya mencapai 8.133 ton.
Dalam kelompok 10 besar bank sentral dengan cadangan emas terbanyak dari sisi jumlahnya, di urutan berikut setelah Amerika: Jerman, Italia, Prancis, Rusia, China, Swiss, Jepang, India, dan Belanda.
Sementara Indonesia, dengan cadangan 79 ton, bahkan hanya ada di urutan ke-4 di Asia tenggara. Posisi pertama adalah milik Thailand, dengan cadangan 244 ton, Singapura 230 ton, kemudian Filipina 165 ton.
Emas tampaknya masih terus diburu, bukan hanya oleh investor maupun bank sentral, tetapi juga warga yang memiliki dana lebih alias kaum ritel. Apalagi, John Reade, Chief Market Strategist dari World Gold Council seperti dikutip DW, mengingatkan bahwa “Sejak awal tahun ini, kita telah melihat pembelian eceran dalam jumlah besar di China… rekor jumlah pembelian di bursa emas Shanghai.”
Begitu juga di dalam negeri. Suguhan informasi kenaikan harga emas belum juga reda. Apalagi, di tengah ketegangan Iran-Israel yang berpotensi mendorong inflasi yang membuat bank sentral berpikir ulang untuk menurunkan suku bunga acuannya. Harga emas berpeluang makin berkilau.