JAKARTA – Produk Domestik Bruto (PDB) atau sebut saja nilai ekonomi komoditas logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik yang sedang marak diperbincangkan karena impornya dipersulit, baru saja mencatat sejarah. Setidaknya dalam 13 tahun terakhir, pertumbuhannya mencatat yang tertinggi, yakni 13,7 persen.
Padahal selama kurun waktu tersebut, PDB sektor tersebut tak pernah sekalipun mencetak pertumbuhan hingga dua digit alias di 10 persen ke atas. Bahkan sempat menyusut selama lima tahun: 2018-2021. Mulai bangkit lagi pada 2022, selanjutnya menjulang.
Pada 2023, nilai ekonomi kelompok barang tersebut mencapai Rp328 triliun. Lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang secara nominal sekitar Rp285 triliun. Inilah pencapaian kinerja tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Boleh jadi perkembangan ini membuat banyak yang gelisah. Tak hanya pelaku industri, begitu juga pemerintah. Minggu lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pun menerbitkan regulasi yang mempersempit ruang gerak barang impor sekitar 78 jenis barang elektronik.
Batasan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Pada Pasal 2 tertulis: Pelaku Usaha dapat mengimpor Produk Elektronik setelah memperoleh Persetujuan Impor dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan/atau laporan surveyor.
Selanjutnya, untuk memperoleh persetujuan impor, pelaku usaha harus memiliki pertimbangan teknis yang diterbitkan oleh menteri. Pertimbangan teknis merupakan surat pertimbangan yang digunakan sebagai persyaratan untuk mendapatkan persetujuan impor produk elektronik.
Makin rumit. Memang, karena tujuannya adalah menghambat laju masuknya barang elektronik impor.
Ini alasannya, kata Menteri Agus Gumiwang: “Pembatasan impor itu kan berkaitan dengan keberadaan industri dalam negeri itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan dari bahan baku dan bahan penolong. Kalau bahan baku dan bahan penolong yang sudah ada, sudah diproduksi di Indonesia, ya tentu importasinya harus kita batasi.”
Sejumlah barang yang diperketat masuk ke pasar Indonesia, antara lain pompa sentrifugal dan pompa air submersible, kipas meja dan kipas lantai, kulkas atau lemari pembeku, mesin cuci tipe rumah tangga hingga rice cooker. Termasuk di dalamnya laptop.
Menteri Agus berharap, pembatasan ruang gerak masuknya sejumlah barang elektronik impor itu untuk mendukung industri dalam negeri bertumbuh. Lewat regulasi ini, pemerintah bisa menekan barang impor yang bakal masuk ke Indonesia.
Dia menyadari bahwa pemerintah harus memastikan bahan baku untuk produksi tersedia, sehingga tidak terjadi kelangkaan pasokan barang yang justru dapat mendongkrak harga. “Bahan baku itu memang kewajiban dari pemerintah untuk memastikan tersedia,” janjinya.
Selama ini, neraca perdagangan Indonesia untuk barang-barang yang mulai dipersulit untuk masuk pasar dalam negeri itu memang selalu defisit. Dalam lima tahun terakhir misalnya, secara total defisitnya sekitar US$22 miliar. Kalau dikalikan dengan kurs Rp15 ribu per dolar saja, nilainya sudah sekitar Rp326 triliun. Itulah modal yang terbang dari Indonesia ke negara pengirim barang elektronik yang sekarang mulai dipersulit itu.
Dengan membatasi masuknya sejumlah barang itu, pemerintah berharap industri dalam negeri bisa tumbuh. Untuk AC misalnya, menurut Kementerian Perindustrian, utilisasi produksinya pada 2023 hanya 43 persen. Masih cukup ruang tambah produk sekiranya daya serap pasar semakin besar.
Tentu saja pemerintah tidak mengungkap alasan produk dalam negeri kalah bersaing dengan barang elektronik impor, sehingga kemampuan penetrasi pasarnya lemah. Mungkin sungkan, karena jangan-jangan selain kualitas, ongkos produksinya lebih mahal sehingga harga jualnya pun lebih tinggi.
Tapi terlepas dari itu semua, kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian ini sulit untuk dilepaskan dari peristiwa 6 Oktober 2023, ketika Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di Istana Merdeka. Pada kesempatan itu, kata Menko Airlangga Hartarto, Presiden minta agar pemerintah memperketat impor komoditas tertentu.
“Komoditas yang dipilih adalah mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil, obat tradisional, dan suplemen kesehatan, pakaian jadi, dan aksesoris pakaian jadi, dan juga produksi tas,” paparnya, seperti dipublikasikan Sekretariat Kabinet.
Enam bulan kemudian, terbitlah Peraturan Menteri Perindustrian yang mempersulit masuknya barang elektronik impor.