JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto begitu percaya diri saat mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 2025. Padahal, beban baru ini berpotensi menambah jumlah warga miskin lebih dari sejuta orang.
Menko Airlangga berdalih, masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, yaitu keberlanjutan. “Kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan (kenaikan) PPN (12 persen),” ujarnya.
PPN ini, singkatnya, pajak yang ditambahkan dan dipungut atas suatu transaksi barang atau jasa. Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Satu hal yang tak terelakkan dari kenaikan tarif PPN adalah bertambahnya harga barang atau jasa yang harus ditebus. Boleh jadi harga barang atau jasa yang ditawarkan tetap. Tapi, mengingat ada tambahan pajak 12 persen -tahun ini sudah naik jadi 11 persen-, berarti masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan suatu barang atau jasa.
Laju kenaikan harga barang inilah yang mendorong inflasi. Nilai uang jadi lebih rendah, karena harga barang yang mesti ditebus bernilai lebih mahal. Selanjutnya mudah ditebak: kenaikan inflasi akan mendongkrak garis kemiskinan atau batas minimum kemampuan belanja masyarakat antara masuk kategori miskin atau tidak. Jika kemampuannya ada di bawah garis kemiskinan, statusnya sebagai orang miskin. Begitu sebaliknya.
Pada Maret 2023 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan Rp550.458. Pada periode itu, ada sekitar 25,9 juta orang yang kemampuan belanja per bulannya ada di bawah angka garis kemiskinan tersebut. Stempel sebagai orang miskin pun serta-merta ditasbihkan.
Pola pada “Gambar 1” dengan jelas memperlihatkan, setiap ada kenaikan inflasi, konsumsi rumah tangga langsung melemah. Keduanya bergerak berlawanan. Ini mengindikasikan bahwa pengeluaran masyarakat sangat sensitif terhadap kenaikan harga barang, termasuk akibat kenaikan pajak seperti PPN.
Sementara “Gambar 2” menunjukkan irama kenaikan inflasi dengan perubahan garis kemiskinan yang selaras. Tapi pertumbuhan garis kemiskinan selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi. Dalam 20 tahun terakhir (2004-2023) misalnya, setiap kenaikan inflasi 1 persen akan mendorong pertumbuhan garis kemiskinan rata-rata 1,8 persen.
Dari sinilah tanda-tanda bencana itu muncul. Dengan asumsi pendapatan atau pengeluaran masyarakat tetap, jumlah orang yang jatuh miskin akan bertambah.
Dari hasil simulasi sederhana, dengan asumsi setiap kenaikan inflasi 1 persen kemudian mendorong peningkatan garis kemiskinan 1,8 persen, maka jumlah orang miskin berpotensi naik atau bertambah sekitar 1,4 juta orang. Rinciannya, 910 ribu ada di perkotaan, dan 470 ribu di perdesaan, seperti tampak pada “Tabel 1”.
Asumsi dalam simulasi tersebut mengibaratkan pendapatan masyarakat tidak mengalami perubahan alias tidak naik, pun tidak turun. Seiring dengan bergeraknya garis kemiskinan yang lebih tinggi 1,8 persen dari Rp505.469 (Maret 2022 sebagai tahun dasar) misalnya, maka sekitar 1,4 juta orang berpotensi terseret masuk ke dalam kelompok orang miskin.
Sebagian besar yang terdampak adalah masyarakat perkotaan. Selain jumlah penduduknya lebih banyak, barang terkena PPN yang dikonsumsi juga lebih banyak di wilayah tersebut.
Apa boleh buat, menurut Menko Airlangga, masyarakat sudah merestui keberlanjutan, yang bermakna: persetujuan kenaikan tarif pajak.