JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mungkin saat ini jadi orang yang paling pening. Tentu bukan urusan pemilu. Tapi soal keuangan negara, karena pada 2024 ini, setiap hari dia harus menyediakan dana rata-rata Rp3,2 triliun buat urusan utang.
Maksud urusan utang itu mencakup kewajiban membayar bunga utang, cicilan pokok utang, serta pelunasan/buyback utang pemerintah dalam bentuk surat berharga negara (SBN) yang jatuh tempo. Tahun ini totalnya mencapai Rp1.153 triliun.
Utang memang seperti candu. Rasanya nikmat saat ditarik atau dikonsumsi. Akhirnya tak terasa, akumulasi utang pemerintah hingga Januari 2024 sudah mencapai Rp8.253 triliun. Tapi giliran bayar, bisa bikin nanar.
Bayangkan, sepanjang 10 tahun pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo atau 2015-Januari 2024, penambahan utang sudah mencapai Rp5.088 triliun. Kira-kira setara dengan Rp1,4 triliun per hari dengan asumsi 365 hari per tahun selama satu dekade.
Gemuknya akumulasi utang itu memang masih jauh dari batas yang ditentukan regulasi. Menurut Undang-Undang Keuangan Negara, rasio utang pemerintah ditetapkan maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga akhir 2023 posisinya sekitar 39,0 persen. Ruangnya masih lebar.
Namun soalnya memang bukan di situ. Alokasi pendapatan negara untuk pembayaran utang: cicilan pokok, bunga, dan SBN jatuh tempo, terus membesar. Ini artinya, pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak maupun hibah yang dapat digunakan untuk belanja pemerintah seperti perlindungan sosial, makin sedikit. Menipis disedot pembayaran utang.
Pada tahun ini misalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menargetkan setoran dari perpajakan maupun lainnya sekitar Rp2.802 triliun. Tapi 41,2 persen di antaranya sudah dipatok untuk bayar kewajiban dari utang dalam dan luar negeri. Baik berupa bunga, cicilan pokok, maupun SBN yang jatuh tempo.
Ke depan, tentu beban anggaran bakal makin berat seiring makin menumpuknya utang pemerintah. Apalagi sejak 2023, pertumbuhan pembayaran utang selalu di atas kenaikan pendapatan negara. Tahun ini misalnya, anggaran membayar utang mencapai Rp1.153 triliun, tumbuh 15,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pendapatan negara hanya naik 1,0 persen.
Alhasil, karena sisa pendapatan selalu tak cukup untuk membiayai belanja pemerintah pusat, pilihannya ya tambah utang baru. Jika ini yang jadi pilihan, sementara asumsi belanja pemerintah tetap, akumulasi utang akan makin gemuk. Beban pembayarannya pun kian tambun dan membuat anggaran sesak napas.
Beban utang tampaknya akan terus berputar seperti lingkaran obat nyamuk. Makin lama makin membesar. Ujungnya berpotensi membuat jumlah orang miskin menumpuk, kinerja ekonomi loyo, pengangguran pun merangkak naik.
Bagaimana itu bisa terjadi? Ketika pemerintah terdesak oleh beban utang sehingga kekurangan anggaran belanja, dari pengalaman yang terjadi selama ini, jatah perlindungan sosial yang jadi sasaran pemangkasan. Di dalamnya, ada subsidi energi seperti bahan bakar minyak maupun tarif listrik seperti dinikmati masyarakat saat ini.
Persoalannya, saat ini jumlah kelas menengah sumbu pendek di Indonesia sangat besar. Puluhan juta orang. Mereka termasuk yang pendapatannya Rp550.458 per orang setiap bulan. Jadi, bisa Rp550 ribu atau Rp600-700 ribu per bulan.
Mereka inilah yang paling mudah berubah status: dari hampir miskin menjadi miskin. Terutama saat jatah subsidi dicukur. Belum lagi kalau ada kemungkinan kenaikan pajak untuk mengisi kas pemerintah. Efek yang menanti di depan beban utang.