JAKARTA — Mimpi Indonesia Emas 2045 memang masih dua dasawarsa lagi, tapi gaungnya mulai berdering kencang sejak sekarang. Presiden terpilih pada pemilu 2024 ditantang untuk merancang siasat agar Indonesia dapat menjadi negara maju pada 2045, satu abad setelah merdeka.
Untuk menggapai cita-cita besar itu, ada satu prasyarat yang tak bisa ditawar. Perekonomian harus digas pol. Kita musti bisa tumbuh sekitar 7% sampai 8% per tahun.
Ini bukan perkara mudah. Selama seperempat abad terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,16% per tahun. Rekor tertinggi tercapai pada 2007 dengan laju 6,35%.
Mampukah kita melesat lebih cepat? Apa yang dapat membuat perekonomian Indonesia meroket?
Sebenarnya, ruang pertumbuhan bagi Indonesia sangat lebar. Resourcesnya beragam. Secara teori, kita juga masih berada pada tingkat produktivitas yang rendah. Cukup dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat mengimpor modal, gagasan, dan teknologi dari negara maju, sekaligus memanfaatkan pasar mereka sebagai batu loncatan untuk tumbuh lebih cepat.
Ini berbeda dengan negara maju yang pertumbuhannya hanya bisa didorong oleh inovasi teknologi baru. Dan ini biasanya hanya bisa dilahirkan melalui riset yang mahal.
Meski ruang tumbuh Indonesia cukup lebar, ada satu tantangan yang perlu diperhitungkan siapa pun presiden terpilih: perekonomian kita cenderung makin “boros”. Jumlah kapital yang harus dibelanjakan untuk menghasilkan satu unit pertumbuhan, kini semakin besar.
Sinyal penurunan efisiensi ekonomi ini ditunjukkan oleh indikator ICOR atau incremental capital output ratio yang kian membengkak. ICOR merujuk pada rasio peningkatan investasi terhadap kenaikan PDB (produk domestik bruto). Makin tinggi ICOR berarti imbal hasil investasi semakin turun, alias semakin boros.
Kalkulasi Bank Dunia menunjukkan, selama periode 2007 – 2012, Indonesia hanya memerlukan investasi kapital sebesar 5,6% dari PDB untuk mendorong 1% pertumbuhan ekonomi.
Namun satu dekade kemudian (2017 – 2022), rata-rata ICOR kita melonjak hingga mencapai 7,1. Artinya, untuk menambah Rp1 output ekonomi, Indonesia perlu tambahan investasi Rp7,1, naik dari semula hanya Rp5,6.
Kenaikan ICOR bisa disebabkan banyak hal. Misalnya, karena investasi besar-besaran pada wilayah yang tidak layak secara finansial. Pembangunan jalan tol atau bandara yang sepi traffic, misalnya, tak akan memberikan imbal hasil yang optimal — meski penting untuk mendorong perekonomian dalam jangka panjang.
Dengan tingkat efisiensi ekonomi seperti sekarang, kebutuhan investasi untuk memacu pertumbuhan, sangatlah besar. Jika kita ingin melaju dengan pertumbuhan 7% sampai 8% persen, seperti dituntut oleh mimpi Indonesia Emas 2045, kita perlu investasi sebesar 49,7% hingga 56,8% dari PDB, rasio yang kolosal.
Data Bank Dunia mencatat, selama tujuh tahun terakhir, rata-rata tabungan domestik Indonesia hanya 37% dari PDB. Ini jauh dari target investasi yang dibutuhkan.
Meningkatkan tabungan domestik bukan tak mustahil, tapi jalannya terjal. Penuh onak dan duri. Penerimaan pajak harus digenjot. Program-program populis, terutama yang tidak tepat sasaran (bensin gratis, makan gratis) mesti diredam. Intinya, tabungan pemerintah perlu dipupuk untuk membiayai investasi.
Presiden baru dan pemerintah mendatang juga harus mempertahankan perekonomian terbuka, untuk memacu investasi dan perdagangan. Dalih “nasionalisme”, yang kerap jadi pertimbangan kebijakan, hanya akan membelenggu perekonomian.
Investasi asing perlu diberi tempat, bahkan didorong, bukan hanya untuk meningkatkan pasokan kapital, tapi juga suntikan teknologi dan pengetahuan manajerial.
Investasi swasta akan menjadi bagian penting dari Indonesia masa depan, terutama untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Saat ini, tiga dari lima tenaga kerja Indonesia bekerja pada ekonomi informal yang produktivitas dan perlindungan hak-hak buruhnya cenderung rendah.
Pemerintah dituntut untuk ramah bisnis. Deregulasi guna merangsang pertumbuhan industri menjadi kunci untuk memacu migrasi tenaga kerja ke sektor-sektor yang lebih produktif. Untuk itu, kapasitas dan keterampilan tenaga kerja perlu didongkrak agar dapat memenuhi kebutuhan industri.
Di luar itu, soal-soal “laten” seperti kepastian hukum, korupsi, kesenjangan ekonomi, serta pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan, mendesak untuk diatasi.
Tak kalah penting: ICOR musti ditekan, imbal hasil investasi harus ditingkatkan. Pembangunan infrastruktur perlu dirancang dengan cermat agar tepat waktu dan tepat guna. Tak boleh lagi ada jalan tol, bandara, atau jaringan kereta cepat yang menganggur, tidak menghasilkan.