Adu Cepat Harta Komisi Mata Air dan Komisi Air Mata di DPR

JAKARTA — Istilah “lahan basah” ada di mana-mana, juga di Gedung DPR. Gosip soal tempat-tempat basah yang bertebaran duit sudah kerap jadi bahan gunjingan.

Politisi PKB Lily Wahid pernah terang-terangan menyebut Komisi-6 dan Komisi-7 sebagai komisi paling basah di DPR, sedangkan Komisi-1 termasuk yang kering. “Memangnya mau makan peluru?” kata anggota Komisi-1 DPR 2009 – 2014 itu, seperti dikutip detik.com pada 2012.

Komisi-6 membidangi perusahaan negara; Komisi-7 mengawasi bidang energi, riset, dan industri; sedangkan Komisi-1 soal pertahanan, keamanan, dan kebijakan luar negeri.

Di kalangan politisi di Senayan, komisi basah dikenal sebagai komisi “mata air”, dan sebaliknya sebagai komisi “air mata”.

Komisi mata-air merujuk pada komisi dengan mitra kerja yang punya anggaran jumbo, yaitu kementerian atau institusi dengan banyak proyek besar dan strategis.

Sebaliknya komisi “air mata” cenderung kering. Mitra kerjanya kementerian dengan anggaran yang minim, sehingga potensi permainan proyek dan anggarannya menjadi terbatas.

Selain Komisi-6 dan Komisi-7 yang ditunjuk Lily Wahid, ada Komisi-11 yang juga kerap digolongkan sebagai komisi mata-air. Komisi ini membidangi soal ekonomi dan keuangan, dengan mitra kerja Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta lembaga-lembaga keuangan, termasuk perbankan.

Rebutan partai

Tiap kali masa penentuan pimpinan, posisi Ketua dan Wakil Ketua komisi mata air selalu jadi rebutan partai-partai. Biasanya, pimpinan komisi mata air ditempati perwakilan partai-partai besar di Senayan.

Menurut salah seorang anggota parlemen, pembagian pimpinan komisi di DPR memang didasarkan atas azas proporsional, sesuai jumlah keanggotaan dalam fraksi.

Pada DPR periode 2019 – 2024 kecenderungan serupa juga tampak. Pimpinan komisi basah dikuasai partai-partai besar.

Hampir semua pimpinan di komisi basah diduduki politisi dari empat besar partai yang menggaet kursi terbanyak di DPR. Dari 14 ketua dan wakil ketua komisi mata-air (Komisi-6, Komisi-7, dan Komisi-11), 12 di antaranya berasal dari PDIP, Golkar, Gerindra dan Nasdem.

Hanya tersisa dua kursi yang ditempati wakil dari partai lain. Satu dari PKB (partai urutan ke-5 perolehan kursi DPR), satu lagi dari PAN.

Sementara itu, partai-partai kecil kebagian jatah pimpinan komisi “air-mata”.

Demokrat dan PKS, misalnya, dapat jatah pimpinan di Komisi-1 dan Komisi-10, sedangkan PPP ada di Komisi-5.

Laporan harta

Apakah basah keringnya lahan berkaitan dengan lonjakan harta yang terlihat pada LHKPN para pimpinan komisi?

Datanesia menyisir laporan LHKPN para pimpinan DPR (termasuk pimpinan komisi) untuk periode laporan 2018 – 2021.

Selama periode tersebut, lonjakan harta tertinggi dicatatkan oleh pimpinan Komisi-6 yang meningkat hingga 174%. Pimpinan Komisi-4 di tempat kedua dengan peningkatkan 153%, dan kemudian Komisi-11 yang naik 101%.

Sementara itu, kekayaan pimpinan Komisi-7 (yang juga disebut-sebut sebagai komisi basah), hanya naik 37%. Ini merupakan uruitan kenaikan ke tujuh terbesar dari 11 komisi yang ada di DPR.

Perlu dicatat, LHKPN menerapkan sistem self assessment. Pengisiannya diserahkan kepada masing-masing penyelenggara negara.

Selain itu, tak semua pimpinan DPR rupanya tertib mengisi LHKPN. Dari 84 pimpinan DPR, hanya 61 yang mengisi LHKPN hingga tahun 2021.

Karena itu, rekapitulasi kenaikan harta yang diolah Datanesia, mungkin saja tak menggambarkan dengan persis kekayaan para pimpinan parlemen.

Dalam hal LHKPN para pimpinan komisi, banyak pimpinan yang –hingga akhir Mei 2023 ketika laporan LHKPN kami akses– belum meyetorkan laporan hartanya.

Pada Komisi-11, misalnya, hanya dua dari empat pimpinan (ketua wakil ketua) yang menyerahkan laporan hingga 2021. Ketua komisi, yakni Kahar Muzakir, politisi dari Golkar terakhir menyerahkan LHKPN Desember 2018, sebelum dilantik menjadi anggora DPR periode 2019 – 2024. Begitu juga M. Fathan politisi PKB yang meyerahkan LHKPN hanya sampai 2019.

Dari tiga komisi basah, hanya Komisi-6 yang LHKPN-nya lumayan lengkap. Dari lima pimpinan, hanya seorang yang tak lengkap, yaitu Mohamad Hekal (Gerindra) yang hanya menyampaikan laporan LHKPN sampai 2019.

Ancaman Ganda Industri Tekstil

Artikel sebelumnya

Hanya 1 dari 10 Tenaga Kerja Indonesia Lulus Universitas

Artikel selanjutnya

Baca Juga