Teka-teki Hilirisasi CPO

JAKARTA – Indonesia merupakan pemasok minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di pasar ekspor dunia. Selama 2017-2021, pangsa pasar Indonesia mencapai 57,3%, kemudian diikuti oleh Malaysia yang 30,3%.

Bagi Indonesia, CPO merupakan andalan ekspor. Kinerja ekspor komoditas tersebut, setidaknya dalam 30 tahun terakhir, cenderung tumbuh positif. Begitu juga dengan kontribusinya, walaupun ada sedikit naik-turun. Pada 1993 misalnya, nilai ekspor CPO Indonesia masih tercatat sebesar US$472 juta. Tiga dekade kemudian, persisnya pada 2022, nilainya sudah menjadi US$27.766 juta atau hampir 60 kali lipat.

Kontribusi CPO terhadap total ekspor Indonesia juga tidak sedikit. Pada 2022 misalnya, mencapai 9,5% terhadap total ekspor. Sedikiti menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang 11,5%. Namun dari sisi nilai, besarannya tetap tumbuh positif.

Perkembangan Kinerja Ekspor CPO

Hilirisasi industri CPO bisa menjadi solusi menghadapi ancaman gejolak harga. Data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), misalnya, menunjukkan bahwa harga TBS petani sawit pasca implementasi mandatori B30 meningkat menjadi Rp1.800-2.550 per kilogram, atau lebih tinggi dibandingkan tingkat harga pada tahun-tahun sebelumnya yang berkisar Rp700-1.200 per kilogram.

Mengacu pada data pohon industri kelapa sawit dari Kementerian Perindustrian, peluang hilirisasi industri minyak kelapa sawit masih cukup besar. Masih banyak produk-produk turunan dari minyak kelapa sawit yang belum diproduksi. Beberapa sektor yang belum tergarap dari industry turunan kelapa sawit, antara lain, dari CPO: Amino Acid, Vitamin E, dan Karoten. Sedangkan dari PKO: Lipase dan Single Cell Protein.

Sejumlah kebijakan untuk mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri yang telah meluncur, antara lain: kebijakan bea keluar, engurangan pajak penghasilan (tax allowance), insentif pajak (tax holiday), pembebasan bea masuk, pengembangan kawasan industri integrasi hilir sawit dan kebijakan mandatori biodiesel.

Dari 11 produk turunan CPO, ekspor tertinggi adalah produk alkohol lemak industri selain dalam bentuk lilin. Komoditas ini mengalami pertumbuhan dari sisi volume dan nilai ekspor selama lima tahun terakhir. Pada 2022, ekspor komoditas tersebut mencapai 752 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$1,4 miliar.

Nilai ekspor asam laurat, asam miristat, garam & esternya juga bernilai besar, yaitu mencapai US$467 juta. Begitu pun dengan lemak & minyak nabati & fraksinya dari biji minyak sawit, dihidrogenasi, dalam bentuk lain, tidak diolah lebih lanjut yang mencapai US$370 juta.

Dari hasil simulasi sederhana Datanesia, secara umum produk hasil olahan memiliki nilai lebih di pasar dibandingkan CPO. Hal itu, terutama bisa dilihat dari rata-rata harga ekspor. Dari 11 komoditas turunan dari CPO yang diekspor, asam kaprat, garam & esternya memiliki nilai tambah paling tinggi. Pada tahun 2022, nilai tambahnya mencapai 5,4 kali lipat atau menjadi rata-rata sekitar US$6,9 ribu per ton dibandingkan harga CPO yang US$1,3 ribu.

Download Report – Teka-teki Hilirisasi CPO

Ancaman Krisis Eropa

Artikel sebelumnya

Berakhirnya Dominasi Jepang Setelah 25 Tahun

Artikel selanjutnya

Baca Juga