JAKARTA — Demam emas mungkin mulai reda, tapi bank-bank sentral di dunia terus ramai-ramai memborong logam mulia.
World Gold Council mencatat, total permintaan emas dunia pada kuartal pertama 2023 turun 13% dari kuartal pertama 2022. Tapi perburuan emas oleh bank sentral justru kian menghangat: naik hampir tiga kali lipat dari 83 ton menjadi 228 ton, selama periode yang sama.
Tren ini melanjutkan perburuan tahun lalu, ketika 1.136 ton emas senilai US$70 miliar (sekitar Rp1.050 triliun) masuk ke dalam cadangan bank sentral, naik 152% dari 2021.
Ini merupakan rekor pembelian emas tertinggi oleh bank sentral, sejak bencana gold rush tahun 1968. Kala itu London Bullion Market, pasar logam mulia terbesar dunia, terpaksa ditutup akibat cadangan emasnya habis diborong bank sentral dan investor.
Apakah ada sesuatu yang dapat menjelaskan perubahan dramatis dari para pengambil kebijakan di bank sentral? Mengapa tiba-tiba mereka memborong emas?
Tanda keguncangan ekonomi?
Selama ini, bank sentral memang merupakan “konsumen” emas terbesar di dunia. Dari 209.000 ton emas yang ditambang dari perut bumi sepanjang zaman, sekitar 36.000 ton (hampir seperlimanya) nongkrong sebagai cadangan devisa bank-bank sentral di seluruh dunia.
Penimbun emas terbesar sejauh ini adalah The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat. Simpanan emasnya tak kurang dari 8.130 ton. Posisinya diikuti Bundesbank Jerman dengan 3.350 ton. Bank sentral Italia, Prancis, dan Rusia menempati posisi berikutnya, dan disusul Cina di urutan keenam.
Di masa tenang, ketika ekonomi aman tenteram, simpanan emas kerap dipandang remeh karena tak membuahkan hasil apa-apa, selain hanya bisa dikagumi warnanya yang berkilau. Namun, di saat ekonomi bergejolak, penuh ketidakpastian, disertai dengan inflasi yang tinggi, emas menampakkan nilai kilauan yang sesungguhnya.
Dalam jangka panjang, emas merupakan penjaga nilai tukar. Emas tak pernah terikat pada kinerja ekonomi negara mana pun. Emas juga kebal terhadap gejolak politik dan keuangan lokal.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pembelian emas oleh bank sentral merupakan salah satu barometer gejolak ekonomi. Jika sinyal gejolak meningkat, alarm di bank sentral akan berdering: saatnya memborong emas.
Namun, penting juga dicatat, membeli emas batangan bagi bank sentral merupakan salah satu cara untuk mengurangi cadangan devisa dalam bentuk dolar. Betul, banyak negara, terutama negara berkembang, memerlukan cadangan devisa dolar untuk membayar impor dan utang luar negeri.
Masalahnya, cadangan yang disimpan bank sentral, sebagian besar bukan dalam bentuk tunai, tapi berupa sertifikat surat utang dari pemerintah AS atau biasa disebut treasury bond.
Nah, ketika The Fed terus menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi AS, nilai surat berharga ini terus menurun. Ketimbang harus mempertaruhkan nilai cadangan devisa pada ikhtiar penjinakan inflasi oleh The Fed, bank-bank sentral ini menjual simpanan treasury bond, dan menukarkannya dengan emas.
Emas batangan merupakan simpanan likuid, yang bisa dilepas kapan saja, terutama ketika negara membutuhkan dolar untuk membayar utang atau membiayai impor.
Apakah harga emas akan terus menanjak? Akan tergantung dari banyak hal. Selain bank sentral ada dua konsumen emas lain yang dapat menggerakkan harga: industri perhiasan dan investor.
Gerak-gerak ketiga konsumen besar emas ini, sebagian akan tergantung dari tiga hal: gejolak ekonomi, kebijakan The Fed dalam penetapan suku bunga, dan masa depan perang di Ukraina.