JAKARTA — Tiap kali mendekati pertengahan tahun seperti sekarang, kepusingan orangtua Indonesia makin nambah: bagaimana mencari sekolah untuk anak-anak.
Ini bukan perkara mudah. Meski sudah mendapatkan jatah anggaran 20% dari APBN, fasilitas pendidikan kita ternyata masih memprihatinkan. Tak perlu jauh-jauh di pelosok. Di ibu kota negara Jakarta saja, angka partisipasi sekolah masih rendah. Jumlah guru juga kurang.
Angka partisipasi (gross enrollment ratio) merujuk pada porsi populasi (sesuai kelompok umur) yang bisa duduk di bangku sekolah. Angka partisipasi yang rendah mencerminkan sulitnya akses terhadap fasilitas pendidikan.
Untuk mengetahui tingkat partisipasi sekolah dan rasio guru murid, Datanesia menghimpun data jumlah guru dan siswa sekolah di DKI, negeri atau swasta, sekolah umum atau kejuruan, tahun ajaran 2020/2021. Sementara itu, data populasi anak sesuai kategori usia diperoleh dari hasil Survei Ekonomi Nasional 2021.
Angka partisipasi rendah
Data yang diolah Datanesia menunjukkan angka partisipasi sekolah menengah di Jakarta Barat dan Jakarta Utara tergolong rendah. Untuk tingkat sekolah menengah atas, baik sekolah umum maupun kejuruan, gross enrollment ratio di kedua wilayah itu masing-masing hanya 76% dan 75%.
Artinya, dari setiap empat anak usia 16 – 18 tahun di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, hanya tiga yang bisa duduk di bangku sekolah, entah SMA atau SMK, sekolah negeri atau swasta. Satu lainnya, tak mengenyam bangku sekolah menengah atas.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asean, angka partisipasi itu hanya setara dengan erollment ratio di Timor Leste, Filipina, dan Malaysia, tapi jauh di bawah Singapura (106%), dan Thailand (95%).
Di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama, angka partisipasinya lebih memprihatinkan lagi: masing-masing hanya 59% dan 57%. Artinya, hampir separuh anak-anak usia 7 – 15 tahun di Jakarta Barat dan Jakarta Utara tidak sekolah SD atau SMP.
Padahal, pemerintah telah menetapkan Program Wajib Belajar 9 tahun. Artinya, semua anak Indonesia minimal harus lulus SMP.
Rendahnya angka partisipasi sekolah barangkali didorong oleh beberapa hal. Di antaranya, biaya yang tak terjangkau, keharusan anak-anak untuk bekerja membantu orangtua atau mencari nafkah, dan perkawinan dini.
Untuk tingkat pendidikan dasar, rendahnya partisipasi sekolah kemungkinan juga didorong oleh tren belajar mandiri atau homeschooling.
Jumlah guru kurang
Selain partisipasi sekolah rendah, sebagian besar wilayah di DKI Jakarta juga kekurangan guru, terutama untuk tingkat pendidikan menengah.
Rasio guru murid sekolah lanjutan (SMA dan SMK) di empat wilayah yaitu Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara kurang dari 5%. Artinya, satu guru harus menangani lebih dari 20 siswa. Ini di bawah rasio guru murid nasional di level sekolah yang sama, yang mencapai 1:15.
Rasio guru-murid sangat penting untuk menjamin tiap siswa mendapatkan bimbingan dan perhatian pribadi dari guru. Rasio yang rendah juga memberi kesempatan bagi tiap siswa untuk berbicara sehingga guru dapat membantu membangun kepercayaan diri mereka.
Tingginya rasio guru-murid serta rendahnya partisipasi sekolah memberi sinyal kurangnya jumlah sekolah lanjutan (SMA dan SMK), terutama di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Ini bisa jadi peluang bisnis bagi swasta.