JAKARTA — Kritik perihal jalan rusak yang bikin “Lampung gak maju-maju” menyulut banyak kontroversi. Tulisan ini tak berniat membahas perdebatan itu, tapi mencoba mencari tahu mengapa perekonomian Lampung, yang sempat meroket bertahun-tahun, kini semakin pudar pamornya.
Selama ini, perekonomian Lampung merupakan salah satu bintang nasional, meski harus diakui: sinarnya tidak teramat cemerlang. Setidaknya, selama 10 tahun sejak 2011 – 2020, kinerja perekonomian Lampung melesat lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam periode itu, pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung selalu unggul (lihat grafik). Di tahun pertama pandemi, 2020, ketika perekonomian nasional susut hingga minus 2,07%, perekonomian Lampung juga minus, tapi hanya 1,67%.
Struktur perekonomian Lampung juga tampak makin kokoh. Sektor pertanian dan kehutanan yang semula sangat dominan, pelan-pelan mulai bergeser ke sektor industri pengolahan dan perdagangan.
Sumbangan sektor pertanian dan kehutanan terhadap total output perekonomian Lampung terus menyusut dari 34,7% pada 2011 menjadi hanya 27,9% tahun lalu.
Sebaliknya, selama periode yang sama, kontribusi industri pengolahan merambat naik dari 17,1% menjadi 18,6%. Begitu juga sektor perdagangan. Porsinya meningkat dari 12,1% menjadi 13,2%.
Ini menunjukkan, Lampung bergerak pada jalur yang tepat, dari perekonomian primer ke sektor sekunder dan tersier. Ini pergeseran yang sehat, dan diharapkan.
Industri pengolahan, terutama agroindustri, terus bermunculan. Ada pabrik pengolahan nanas, kopi, dan pisang; pabrik tepung tapioka; pakan ternak; tepung mocaf (bahan campuran untuk produksi mi instan); juga pabrik pengeringan jagung. Semua ini menambah panjang daftar industri pengolahan di Lampung, menyusul pabrik gula yang sudah lebih dulu ada.
Posisinya yang dekat dengan Jakarta ikut mendorong Lampung menjadi daerah penyangga Ibu Kota. Beras, telur, ayam, merupakan beberapa bahan pangan yang “diimpor” Jakarta dari Lampung. Kandang-kandang pembesaran sapi (feedlot) juga bermunculan untuk menyokong kebutuhan daging sapi masyarakat Ibu Kota.
Kontribusi pemerintah melorot
Namun sejak dua tiga tahun lalu, catatan yang menjanjikan ini mulai berubah. Gelagat itu tampak dari perekonomian Lampung yang mulai melambat. Tahun 2021, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa terakhir, kinerja ekonomi Lampung disalip oleh perekonomian nasional. Ini terulang lagi pada 2022.
Agaknya, ini dimulai sejak 2020. Bersamaan dengan pandemi, usaha swasta mandek, tak terkecuali di Lampung. Di masa paceklik seperti itu, pemerintah diharapkan dapat mengambil alih peran swasta menjadi motor perekonomian. Sayangnya, ini tak terjadi di Lampung.
Tahun pertama pandemi, belanja pemerintah daerah Lampung malah turun. Rincian produk domestik regional bruto (PDRB) Lampung mencatat konsumsi pemerintah justru merayap turun dari Rp29,3 triliun pada 2019 (sebelum pandemi) menjadi Rp28,8 triliun pada 2020.
Tahun berikutnya lumayan, naik sedikit, tapi kemudian melorot lagi menjadi Rp28,3 triliun pada 2022.
Turunnya belanja pemerintah membuat sumbangan komponen government spending pada PDRB ikut merosot dari 8,2% pada 2020 menjadi hanya 6,8% pada 2022.
Alokasi belanja adalah kunci
Bukan hanya konsumsinya turun, alokasi belanja pemerintah daerah Lampung juga mulai salah prioritas alias salah arah. Porsi belanja-modal –komponen yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi— justru cenderung menurun.
Ini tampak pada alokasi belanja Kabupaten/Kota yang merupakan ujung tombak otonomi daerah. Porsi belanja-modal Kabupaten/Kota di Lampung yang biasanya lebih tinggi dari rata-rata nasional, sejak 2019 malah berbalik menjadi lebih rendah. Artinya, “bahan bakar” untuk mendorong pertumbuhan ekonomi semakin lemah.
Sebaliknya, porsi belanja pegawai (yang cenderung menjadi beban), malah naik. Ini berbeda dengan kecenderungan nasional yang cenderung turun.
Besar kemungkinan, turunnya tingkat konsumsi pemerintah dan alokasinya yang kurang tepat ini, punya peran pada buruknya kualitas infrastruktur. Data Badan Pusat Statistik mencatat, porsi jalan di Lampung yang berada dalam kondisi baik terus melorot dari 67% pada 2018 menjadi hanya 49% dari total panjang jalan pada 2022 lalu.
Porsi jalan rusak memang berhasil ditekan, dari 13% pada 2020 menjadi 7,5% tahun lalu. Namun ikhtiar ini belum bisa mengembalikan kualitas jalan sebelum pandemi. Kala itu, porsi jalan rusak hanya 5%.
Kualitas jalan merupakan salah satu pondasi utama kelangsungan industri, perdagangan, dan bahkan pertanian – tiga generator ekonomi paling penting di Lampung.
Agaknya, apa yang terjadi di Lampung sekali lagi menegaskan: alokasi belanja pemerintah merupakan kunci – terutama ketika usaha swasta mandek, seperti saat pandemi.