JAKARTA — Marilah mengencangkan ikat pinggang di tahun baru 2023 ini. Kira-kira, begitulah tekad yang coba dilakukan pemerintah. Maklum, setelah tiga tahun pandemi COVID-19, pemerintah kembali pada ketetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Aturan itu mengatur batas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada 2020, ketika Indonesia terpapar pandemi, pemerintah dan DPR sepakat melonggarkan defisit hingga di atas 3% dari PDB. Tujuannya, tentu saja untuk mengompensasi tingginya anggaran belanja dalam penanganan pandemi. Bahkan ada berbagai relaksasi yang diberikan kepada sektor-sektor yang terdampak pandemi.
Pada 30 Desember 2022 lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi mencabut kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM). Keputusan itu menjadi penanda berakhirnya pandemi dan saatnya negeri ini memasuki pemulihan nasional. Sehingga, sudah selayaknya pemerintah kembali membatasi defisit APBN sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.
Dengan berakhirnya pandemi dan masuknya era pemulihan nasional seperti menjadi harapan baru melesatkan kembali pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, proyeksi terjadinya resesi global tahun ini dari Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi awan kelabu yang membayangi. Itu sebabnya, efisiensi menjadi penting untuk menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga mencapai 2,84% dari PDB.
Dalam APBN 2023, pendapatan negara ditargetkan Rp2.463 triliun. Sumbernya berasal dari penerimaan perpajakan Rp2.021 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp441 triliun. Belanja negara dalam APBN disepakati Rp3.061 triliun: belanja pemerintah pusat Rp2.246 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa Rp815 triliun.
Dari anggaran belanja pemerintah pusat, komponen belanja pegawai mencapai Rp443 triliun atau sebesar 20% dari total anggaran belanja pemerintah pusat. Jumlah tersebut naik 6,2% dari APBN 2022 sebesar Rp417 triliun. Naiknya belanja pegawai ini menimbulkan pertanyaan: apakah kenaikan ini sejalan dengan efisiensi yang dicanangkan pemerintah?
Menurut Kementerian Keuangan, belanja pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan pensiunan serta pegawai honorer yang akan diangkat sebagai pegawai lingkup pemerintahan. Kompensasi itu sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan fungsi unit organisasi pemerintah.
Setidaknya dalam 15 tahun terakhir, tahun 2015 memberikan catatan sejarah bagi belanja pegawai. Pada tahun itulah, kali pertama porsi belanja pegawai mendapatkan porsi terbesar dalam anggaran belanja pemerintah pusat, mengalahkan belanja modal, subsidi, atau belanja lain. Empat tahun “predikat juara” sempat berpindah kantong ke belanja barang barang dan belanja lainnya. Kini, pada 2023, belanja pegawai kembali yang terbesar menyedot anggaran pemerintah pusat.
Tingginya belanja pegawai yang merupakan biaya tetap dalam anggaran pemerintah pusat berpotensi menjadi hambatan bagi efisiensi anggaran. Porsinya terhadap total belanja pemerintah pusat terus melaju.