Beban Gaji dan Utang Naik, Untung Subsidi Turun

JAKARTA — Bagi pemerintah, pos subsidi tahun-tahun belakangan ini mirip seperti pelega pernafasan. Di tengah himpitan cicilan utang dan beban pegawai yang makin mencekik, belanja subsidi cenderung menurun.

Selama delapan tahun terakhir, belanja pemerintah untuk berbagai subsidi turun 55% dari Rp392 triliun di tahun 2014 menjadi Rp253 triliun pada 2022 (angka sementara hingga Desember).

Subsidi merupakan dukungan keuangan dari pemerintah untuk mengurangi beban masyarakat miskin untuk belanja bahan bakar, listrik, pupuk, maupun jasa kesehatan dan pendidikan.

Sebelumnya, nilai belanja subsidi terus menanjak dengan laju yang mencemaskan. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belanja pos subsidi naik lebih dari empat kali lipat dari Rp92 triliun (2004) menjadi Rp 392 triliun sepuluh tahun kemudian.

Turunnya belanja subsidi dalam delapan tahun terakhir terutama didorong oleh keputusan Presiden Joko Widodo memangkas subsidi energi habis-habisan sejak akhir 2014.

Menurut Jokowi, subsidi terhadap bahan bakar tidak tepat sasaran karena justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok orang mampu.

Keputusan ini terbukti manjur untuk meredakan tekanan terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2014, belanja subisidi menghabiskan seperempat penerimaan negara. Tahun 2022 lalu, porsinya turun menjadi hanya 10% dari penerimaan negara.

Untungnya, kekhawatiran bahwa pengurangan subsidi bahan bakar akan mendorong kenaikan harga barang, tak terjadi. Tahun 2015 tingkat inflasi hanya mencapai 6,36%, justru turun dari 6,4% pada 2014. Tahun berikutnya, inflasi malah melorot menjadi 3,53%.

Sulit diingkari, keberhasilan kebijakan pemangkasan subsidi bahan bakar (tanpa mendorong inflasi), ikut “didukung” oleh turunnya harga minyak mentah di pasar internasional.

Juni 2014, harga minyak mentah dunia masih bertengger pada US$105 per barel. Enam bulan kemudian, awal 2015, sudah melorot hingga tak sampai separuhnya, menjadi US$45 per barel.

Pemangkasan pos subsidi sangat penting agar pemerintah leluasa mengatur belanja. Misalnya, agar dapat meningkatkan belanja modal yang menjadi mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi.

Pertanyaannya, apakah kebijakan pemangkasan subsidi dapat berlanjut terus? Mudah-mudahan. Sejarah mencatat, kebijakan ini rentan terhadap gejolak harga minyak mentah dan kepentingan politik.

Ini terjadi misalnya pada 2018, atau satu tahun menjelang pemilu 2019. Pos subsidi yang di tahun-tahun sebelumnya sudah dipangkas, tiba-tiba kembali naik, dari Rp166 triliun pada 2017 menjadi Rp217 triliun, atau membengkak 31% hanya dalam tempo satu tahun.

Sepanjang 2018, harga minyak mentah memang naik sampai 25%, dari US$60 menjadi US$75 per barel. Untunglah, pada tahun pemilu 2019, harga minyak mentah di pasar internasional kembali turun hingga di kisaran US$50 sampai US$62 per barel.

 

 

8 Sektor Basis di Batam

Artikel sebelumnya

5 Jawara Multifinance

Artikel selanjutnya

Baca Juga