JAKARTA – Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Batam pada 2021 yang sebesar Rp141 juta boleh jadi kalah dari Natuna, yaitu Rp250 juta. Namun pertumbuhan ekonominya, sejak lama menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau.
Kesimpulan ini diperkuat setelah Datanesia menggunakan analisis Tipologi Klassen untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama: pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita pada sumbu horisontal.
Mengacu pada kriteria tersebut daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat kuadran wilayah:
Kuadran I: Daerah Cepat Maju dan Cepat Tumbuh
Daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota.
Kuadran II: Daerah Berkembang
Daerah dengan tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota.
Kuadran III: Daerah Maju tapi Tertekan
Daerah dengan pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan rata-rata kabupaten/kota.
Kuadran IV: Daerah Relatif Tertinggal
Daerah dengan tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita yang lebih rendah dibanding dengan rata-rata kabupaten/kota.
Hasil analisis menggunakan Tipologi Klassen dengan data 2017-2021 menunjukkan bahwa Batam ada di Kuadran II: daerah dengan tingkat pertumbuhan tinggi, namun, tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/ kota. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat mengoptimalisasi sektor unggulan agar dapat mendongkrak PDRB perkapita daerah.
Peran Habibie di Kota Batam
Nama Bacharuddin Jusuf Habibie (1936-2019) merupakan legenda bagi Kota Batam. Berkat visi Presiden RI ke-3 ini, Batam menjadi kota industri yang beragam. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto memberikan mandat kepada Habibie untuk mengembangkan pulau seluas 715 km2 itu. Misinya: menjadi pesaing Singapura.
Misi itu sesungguhnya bukan hal yang mustahil. Pulau ini berada di lokasi strategis. Berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Jarak Batam dengan Johor Baru hanya 59 kilometer. Batam- Singapura lebih dekat lagi, hanya 22 kilometer.
Pada 1975, Batam hanya memiliki 600 keluarga. Tak ada prasarana di pulau itu. Habibie yang menjabat sebagai Kepala Otorita Batam (1978- 1998) merancang pembangunan Pulau Batam sebagai kota modern, kota industri dan kota tempat galangan kapal. Dia pun merancang pembangunan infrastruktur dari jalan, listrik hingga air.
Habibie melihat Batam menggunakan Teori Balon.
Teori itu mengasumsikan Singapura yang luasnya hampir sama dengan DKI Jakarta akan memasuki era jenuh. Ketika itu terjadi, Negeri Singa tak kuasa lagi menampung investasi yang masuk, sehingga membutuhkan tempat perluasan. Batam menjadi lokasi paling pas untuk menampung tumpahan investasi itu.
Kelak, Pulau Batam, yang tidak lebih luas dari Singapura pun akan mencapai titik jenuh. Pulau Rempang hingga Galang serta Pulau Bintan yang ada di dekatnya siap menerima luapannya. Dari ide inilah dibangun jembatan Barelang yang menghubungkan Pulau Batam, Rempang dan Galang. Belakangan, pembangunan jembatan diteruskan hingga ke Pulau Bintan. Pembangunannya memakan biaya Rp400 miliar dengan waktu pengerjaan 1992-1998.
Wilayah Kota Batam secara keseluruhan memiliki tiga pulau besar yang duihubungkan dengan jembatan Barelang. Batam juga memiliki ratusan pulau kecil memiliki luas total 1,595 km2.