JAKARTA — Duit negara yang dipakai untuk membayar gaji dan pensiun pegawai negeri terus tumbuh berlipat. Selama 18 tahun terakhir, sejak 2004 hingga 2021, pos belanja pegawai (termasuk untuk TNI dan Polri) melonjak hingga 7,3 kali lipat.
Jika dirinci, di masa 10 tahun pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), belanja pegawai naik hampir lima kali lipat, dari Rp53 triliun (2004) menjadi Rp244 triliun (2014).
Lonjakan besar gaji pegawai di era SBY ini terutama didorong oleh program remunerasi birokrasi (tunjangan kinerja) yang dimulai secara bertahap sejak 2007.
Pada era Presiden Joko Widodo belanja pegawai naik satu setengah kali lipat, dari Rp244 triliun (2014) menjadi Rp388 triliun (2021). Perlu dicatat, era Presiden Jokowi baru berjalan tujuh tahun. Masih tersisa tiga tahun lagi, sampai akhir masa jabatan pada 2024 mendatang.
Tahun 2022 kemarin, angka realisasi sementara belanja pegawai mencapai Rp402 triliun. Ini merupakan pos belanja pemerintah terbesar kedua setelah pos belanja barang yang mencapai Rp422 triliun.
Jika dilihat porsinya, tampak bahwa belanja pegawai makin menggerogoti keuangan negara. Pada 2004, gaji pegawai hanya menyita 13% dari penerimaaan negara. Proporsi ini terus membengkak hingga menghabiskan 19% penerimaan negara, pada 2021.
Besarnya alokasi untuk membiayai pegawai membuat ruang gerak pemerintah untuk memilih prioritas anggaran menjadi makin terbatas.
Bank Dunia mencatat, semakin maju suatu negara, porsi biaya pegawainya cenderung semakin rendah. Ini tampak dari data rasio belanja pegawai dengan total belanja pemerintah di sejumlah negara.
Pada 2020, menurut data Bank Dunia, rasio belanja pegawai terhadap total spending pemerintah Indonesia mencapai 14,8%. Rasio yang sama di Amerika Serikat hanya 7%. Jerman malah cuma 5,4%, Jepang 4,4%, dan Korea Selatan 9,3%.
Di Asia Tenggara porsi belanja pegawai terhadap total belanja pemerintah berkisar antara belasan hingga 43%. Singapura misalnya 14,3%, Thailand 23,8%, Malaysia 31,7%, Filipina 33,5%, dan Kamboja 42,9%.