JAKARTA – Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan 2023 bakal menjadi tahun yang lesu. Terasa seperti pil pahit bagi negara-negara berkembang yang belum pulih benar dari perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis Oktober 2022, IMF bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,7% pada 2023, dari proyeksi sebelumnya yang 2,9%.
Laporan itu menyebutkan Amerika Serikat, Eropa hingga Cina akan mengalami perlambatan ekonomi terdalam pada 2023. Bahkan berpotensi jatuh ke jurang resesi.
Pada 21 November 2022, hasil riset Datanesia yang bertajuk “Denyut Resesi 2023” menunjukkan bahwa Leading Economic Indicator (LEI) di tiga raksasa ekonomi dunia itu sudah mengalami penurunan bahkan ada yang minus sejak Oktober. Indikator ini memberikan sinyal pergerakan ekonomi ke depan yang muram.
Tekanan terhadap tiga kawasan itu, terutama akibat ketegangan Rusia dan Ukraina yang bahkan hingga
saat ini belum terlihat batas akhirnya. Ganguan pada pasokan dan rantai suplai komoditas pangan maupun energi yang menjadi pemicu krisis di tingkat global masih menjadi ancaman.
Tiga kawasan tersebut menyumbang sepertiga ekonomi dunia. Jadi, perlambatan ekonomi di wilayah itu akan berdampak buruk bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Perdagangan merupakan sektor yang paling mungkin terdampak, kemudian menjalar ke banyak wilayah ekonomi. Dari kinerja sektor manufaktur yang berpotensi lesu hingga ancaman penyusutan tenaga kerja.
Jika melihat data yang dikeluarkan oleh UN Comtrade selama lima tahun terakhir, Cina merupakan negara dengan nilai perdagangan terbesar di dunia, yaitu US$24 triliun. Kemudian disusul Amerika Serikat sebesar US$20 triliun. Lima negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris, Belanda dan Italia) masuk dalam daftar 10 negara dengan nilai perdagangan paling gemuk di dunia.
Kini, negara-negara raksasa yang berpengaruh pada perekonomian global itu sedang muram. Laporan terbaru dari Conference Board menunjukkan bahwa indeks LEI kian turun. LEI merupakan indikator pendahulu perkembangan ekonomi sebuah negara yang bisa dilihat sebagai peringatan dini atau early warning system kondisi perekonomian ke depan. LEI mencakup dua komponen ekonomi: keuangan dan non-keuangan.
Bulan lalu, LEI Australia, India dan Prancis masih positif ketika negara-negara lain sudah menurun atau minus. Laporan terkini dari lembaga think- tank global itu menunjukkan LEI Australia dan India kini negatif menyusul negara-negara lainnya, menyisakan Prancis sebagai satu-satunya negara yang masih ‘aman’ dari perlambatan ekonomi.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 sebesar 5,7%. Konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi, yaitu 2,8%. Lalu ada penanaman modal tetap bruto (PMTB) atau investasi 1,6%. Kemudian ada ekspor bersih 1,1% dan komponen lain O,3%.
Jika sektor perdagangan terganggu akibat perlambatan ekonomi dari negara-negara tujuan ekspor, maka ekonomi dalam negeri juga terdampak. Dari 10 negara mitra dagang utama
Indonesia, enam di antaranya bakal mengalami perlambatan ekonomi berdasarkan data-data perkembangan LEI yang disajikan Conference Board.
Namun, empat negara mitra dagang utama lainnya, yakni Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam, bukan berarti aman. Conference Board tidak menyediakan data LEI untuk semua negara. Tentu, perlambatan ekonomi akan berdampak meluas dan dirasakan secara global kendati dengan tingkatan yang berbeda.
Dalam kondisi krisis global, perdagangan internasional Indonesia berpotensi ikut terpukul. Padahal dalam lima tahun terakhir (2017-2021) kinerja ekspor bersih masih positif: ekspor lebih besar dari impor. Sepanjang periode itu, total perdagangan Indonesia mencapai US$1,7 triliun. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh pada beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, masih terjadi defisit ekspor. Misalnya, dengan Cina, Singapura, Korea Selatan, Thailand dan Australia.