JAKARTA — Sejak enam bulan terakhir, sejumlah ekskavator mulai sibuk merayapi perbukitan di Ibu Kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur. Alat-alat berat ini mengeduk bukit dan mengurug lembah untuk memulai pembangunan sejumlah fasilitas penting, seperti perumahan bagi pekerja konstruksi, pemasangan tiang pancang jembatan, dan bendungan.
Di tengah situasi keuangan negara yang serba terbatas, pembangunan IKN Nusantara terus dikebut. Agaknya pemerintah menilai, pemindahan ibu kota baru sudah begitu mendesak untuk mendorong titik-titik pertumbuhan ekonomi yang baru, di luar Jawa.
Selain pemerataan pertumbuhan, pemindahan Ibu Kota diperlukan untuk mengurangi tekanan terhadap Jakarta, dan Pulau Jawa. Daya dukung Jakarta sudah semakin rentan, dalam beberapa tahun terakhir. Kepadatan dan pertumbuhan penduduk di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, sudah semakin mengkhawatirkasn.
Sensus Penduduk yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 mencatat, Jakarta dan kota-kota satelit di sekitarnya, merupakan wilayah paling padat di Indonesia.
Jakarta Raya menempatkan sembilan kota dalam daftar 10 kota metropolitan (kota dengan penduduk lebih dari satu juta jiwa) terpadat di Indonesia. Sembilan kota itu, berturut-turut Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Tangerang Selatan. Hanya ada satu kota yang menerobos dominasi Jakarta Raya, yaitu Bandung, yang masuk di urutan ke-empat kota terpadat Indonesia
Selain padat, penduduk di Jakarta Raya juga tumbuh dengan kecepatan yang mendebarkan. Jumlah penduduk di Jakarta Pusat, misalnya, melaju dengan kecepatan 17% dalam 10 tahun terakhir, sehingga menempati posisi kota terpadat –dengan jumlah penduduk hingga 20.200 jiwa/km2—menggantikan Jakarta Barat.
Wilayah lain dengan pertumbuhan penduduk ekstrapesat adalah Depok dan Jakarta Timur yang masing-masing tumbuh dengan laju 18,3% dan 12,7%.
Sensus penduduk 2020 juga mencatat pertumbuhan penduduk di kota-kota metropolitan di luar Jawa yang mengesankan seperti Bandar Lampung (melonjak 32,2% dalam 10 tahun terakhir), Batam (26,7%), dan Medan (16,1%).
Berkah atau Musibah
Pertumbuhan penduduk yang pesat di wilayah yang sangat padat, perlu diwaspadai. Tanpa pengendalian yang memadai, kepadatan penduduk akan melahirkan kisah-kisah horor wilayah perkotaan.
Kepadatan penduduk akan meningkatkan permintaan pada ruang terbuka, untuk diubah menjadi kawasan permukiman, fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, dan fasilitas publik yang lain. Ruang terbuka yang terpangkas akan melahirkan masalah lingkungan seperti polusi, limbah, sampah, sanitasi, dan potensi merebaknya penyakit menular.
Namun kepadatan tak selamanya berarti kabar buruk. Kepadatan penduduk juga menjadi sumber “rezeki” sebuah kota.
Kepadatan menaikkan skala ekonomi. Jaringan jalan tol, kereta api, dan sistem angkutan massal, hanya mungkin dibangun jika jumlah penduduk cukup besar untuk membantu mengurangi biaya rata-rata jaringan transportasi.
Selain itu, kepadatan memperbesar tingkat konsumsi, sekaligus menambah pasokan tenaga kerja. Dengan kepadatan, warga kota memiliki peluang untuk membuka kafe, restoran, toko pakaian, sepatu, dan berbagai gagasan usaha yang baru.
Pertumbuhan penduduk juga dapat mendorong pemerintah kota untuk membangun plaza, taman bermain, rumah sakit umum daerah yang lebih besar, dan sistem angkutan umum yang efisien. Sistem bike sharing sulit dibangun pada kota-kota kecil dengan jumlah penduduk yang terbatas.
Kepadatan juga membuka banyak pilihan. Apotik, klinik, sekolah, tempat belanja, akan semakin banyak. Begitu pula alternatif layanan jasa seperti angkutan umum, jasa kutir, atau layanan pesan dan antar. Hidup kerap kali menjadi lebih mudah di kota-kota yang padat penduduk.
Berkah kepadatan penduduk ini mungkin bisa menjadi peluang bagi para pengusaha yang ingin mengembangkan bisnis. Kota-kota yang penduduknya tumbuh pesat di luar Jawa seperti Bandar Lampung, Medan, dan Batam akan menjadi wilayah-wilayah usaha yang sangat menantang.
Sejalan dengan itu, soal jumlah penduduk ini perlu dipertimbangkan oleh para perencana IKN Nusantara. Tanpa jumlah penduduk yang memadai, biaya pelayanan publik per kapita di kota baru yang dibangun dengan berbagai fasilitas nan hebat dan megah itu akan terhitung sangat mahal.
Mungkin itu sebabnya, Presiden Joko Widodo rajin menemui para pengusaha –terutama developer properti, penyedia layanan kesehatan, atau pendidikan– untuk ikut menanamkan aset di IKN.