Sandungan Energi Bersih

Ringkasan Eksekutif

Meningkatnya permintaan energi menjadi penanda penting bagi pergerakan ekonomi: mobilitas masyarakat bergairah, ruang-ruang produksi di pabrik mengepul. Produktivitas meningkat. Energi menjadi input dasar dalam menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, ketahanan energi menjadi faktor krusial dalam sebuah negara. Indonesia mengamanatkan ketahanan energi lewat sejumlah aturan.

Pemerintah juga telah membuat target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC: National Detrmined Contribution) sebagai tindak lanjut “Paris Agreement”. Versi terakhir NDC keluar pertengahan 2021. Di antara isinya, pada 2030, Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% melalui usaha sendiri dan 41% jika mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional.

Datanesia mengukur kondisi ketahananan energi saat ini dan menganalisis dari sisi ketersediaan energi, akses dan harga serta lingkungan hidup, sesuai dengan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dari sisi ketersediaan, saat ini memang masih berlimpah, namun ditopang oleh batu bara yang tidak ramah lingkungan.

Bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi energi akhir yang dikonsumsi paling banyak. Mengingat ketergantungannya terhadap impor sangat tinggi akibat ketersediaan yang rendah, beban anggaran pemerintah ikut terseret. Tahun ini misalnya, akibat kenaikan harga energi dunia, nilai subsidi dan kompensasi BBM naik tiga kali lipat, dari Rp152,5 triliun pada 2021 menjadi Rp502,4 triliun.

Harga BBM di Indonesia tentu bukan paling rendah jika harganya dihitung dengan mempertimbangkan pendapatan. Dalam hitungan Datanesia, rasio harga BBM RON 95 di Indonesia terhadap pendapatan per kapita (ratarata Indonesia Rp5,1 juta per bulan) justru yang paling tinggi, yaitu 0,34%. Negara-negara lain yang dijadikan perbandingan justru jauh lebih rendah. Malaysia misalnya, warganya hanya cukup mengalokasikan 0,05% dari pendapatannya untuk belanja BBM yang sama, dan warga Hong Kong cukup 0,07%.

Pengeluaran penduduk Indonesia untuk belanja energi: listrik, elpiji dan BBM terus naik, walaupun seolah-olah harganya cenderung stabil. Untuk kurun waktu 2017-2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa secara nasional, porsi pengeluaran penduduk untuk energi rata-rata naik 2,5% dalam lima tahun itu. Namun, penduduk di 21 provinsi rata-rata harus mengalokasikannya lebih tinggi.

Pada 2025, Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mengamantakan pemanfataan EBT sebagai energi primer paling sedikit 23%. Persoalannya, dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), penggunaan EBT dalam bauran energi hanya bertambah 8%, yaitu dari 4% pada 2012 menjadi 12% di 2021. Dengan begitu, rata-rata per tahun hanya naik 0,8%. Selisihnya masih jauh dari yang diharapkan, seperti tertuang dalam regulasi.

Di antara persoalan dalam pengembangan EBT adalah mahalnya investasi dan minimnya dukungan pembiayaan. Jika dilihat dari pertumbuhan kredit berdasarkan sektor, pertambangan dan penggalian masih jadi primadona. Pada Juni 2022 misalnya, Bank Indonesia mencatat kenaikan penyaluran kreditnya naik 56,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya.

Pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan untuk membentuk lembaga yang mengawal transisi energi dan memastikan industri energi tumbuh sesuai dengan target pemerintah dalam UU Kebijakan Energi Nasional dan NDC.

Download White Paper

Perkembangan Mobil Listrik di Indonesia

Artikel sebelumnya

10 Provinsi dengan Konsumsi Rumah Tangga Tertinggi

Artikel selanjutnya

Baca Juga