JAKARA – Konsumsi listrik diperkirakan bakal terus tumbuh. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 memperkirakan penambahannya sekitar 4,9-5,4% dalam 10 tahun ke depan. Tanpa kebijakan yang konsisten untuk transisi energi, sektor kelistrikan bakal menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di Indonesia pada 2060, yakni 0,92 miliar ton setara CO2 (tCO2e) per tahun.
Dalam dokumen tersebut, penurunan penggunaan energi fosil memang terjadi. Namun dominasinya belum terkalahkan. Bahkan bukan tak mungkin akan terus bertambah, mengingat kebutuhan listrik akan membengkak seiring dengan maraknya kendaraan listrik yang meluncur di aspal Indonesia.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik di Indonesia cukup bergairah. Per September 2021 misalnya, penjualan mobil jenis Battery Electric Vehicle (BEV) mencapai 611 unit, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) 44 unit dan Hybrid Elecric Vehicle (HEV) 1.737 unit.
Sekadar pengingat, BEV merupakan kendaraan yang digerakkan hanya oleh motor listrik. Sedangkan HEV punya dua mesin, yaitu mesin bakar dan motor listrik. PHEV mirip HEV, namun listriknya dapat diisi dari sumber eksternal, misalnya listrik di rumah.
Kian maraknya peredaran mobil listrik, tentu akan memperbesar risiko transisi menuju energi bersih. Ketika tingkat permintaan listrik melonjak akibat demam mobil ramah lingkungan misalnya, dominasi batu bara dalam energi primer untuk pembangkit bisa membesar, dengan alasan ketersediaan energi terbarukan yang belum memadai.
Untuk itu, mendukung gairah kehadiran sektor swasta di lapak energi ramah lingkungan menjadi sangat penting. Sekadar menyebut beberapa contoh, ada beberapa perusahaan yang sudah bergerak dari titik nol untuk penjadi pemain di sektor energi baru terbarukan (EBT), termasuk ekosistem kendaraan listrik.
PT Indika Energy Tbk misalnya, bahkan telah mengambil keputusan yang tak biasa. Selama ini, Indika menggantungkan sumber pendapatannya dari komoditas batu bara. Pada 2021 misalnya, segmen usaha eksplorasi, produksi, dan pemrosesan batu bara ini US$2,8 miliar bagi atau sekitar 91,5% dari total pendapatannya. Indika berubah haluan. Pada 2050, pendapatannya akan berasal dari net zero emissions.
Untuk mendukung rencana tersebut, Indika melepas saham di PT Petrosea Tbk, yang selama ini bisnisnya di sektor batu bara. Selanjutnya, mendirikan PT Solusi Mobilitas Indonesia (SMI) melalui anak perusahaannya, PT Indika Energy Infrastructure. SMI akan bergerak di sektor kendaraan listrik, menyusul PT Electra Mobilitas Indonesia yang didirikan pada April 2021, untuk memproduksi motor listrik plus rantai nilai bisnis kendaraan listrik.
Indika juga akan membangun ekosistem kendaraan listrik yang komprehensif di Indonesia. Dari produksi baterai listrik hingga pengembangan industri kendaraan listrik roda empat, kendaraan listrik roda dua, dan bus listrik. Rencana ini dikerjakan bersama Foxconn, Gogoro Inc dan PT Industri Baterai Indonesia (IBC).
Ada juga PT TBS Energi Utama Tbk. Melalui anak usahanya, PT Karya Baru TBS, membentuk Electrum, ekosistem kendaraan listrik roda dua bersama Gojek. Electrum akan menyiapkan manufaktur sepeda motor listrik, teknologi pembuatan baterai, infrastruktur penukaran (swap) baterai dan stasiun pengisian daya, serta pembiayaan.
TBS Energi Utama juga masuk ke proyek pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Di antara proyeknya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Waduk Tembesi, Kota Batam dengan kapasitas 330 megawatt. Selain itu, ada juga PT Nusantara Infrastructure yang mengelola pembangkit EBT, begitu juga dengan PT United Tractors Tbk. Tak ketinggalan, anak usaha BUMN, yaitu PT Bukit Asam Tbk, yang menggarap Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Sungguh merugi jika pemerintah sampai terlewat memanfaatkan peluang perkembangan bisnis di bidang energi baru dan terbarukan. Kehendak sejarah yang kian peduli terhadap kelestarian dan keselamatan lingkungan hidup tak dapat dicegah. Pelan tapi pasti, kegiatan usaha yang berpotensi “menyakiti” lingkungan akan ditinggalkan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.
Konsistensi dalam regulasi juga tak dapat diabaikan. Meski dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030 telah dinyatakan bahwa porsi EBT dalam pembangkit PLN bertambah menjadi 51,6%, namun kebijakan tersebut tidaklah cukup untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia. Pasalnya, ada rencana penambahan kapasitas pembangkit dari batu bara (PLTU) mencapai 13,8 Gigawatts (43%) dari total tambahan kapasitas pembangkit sebesar 40,5 Gigawatts (100%).
Rencana itu memberikan sinyal batu bara masih menjadi sumber andalan sektor kelistrikan nasional. Sikap tidak konsisten ini dikhawatirkan menyebabkan disinsentif bagi pengusaha dalam mengembangkan sektor EBT. Upaya “menidurkan” pembangkit dengan asupan energi tak ramah lingkungan, mungkin perlu disegerakan.