JAKARTA – Pelabuhan Tanjung Priok yang berlokasi di DKI Jakarta masih menjadi pelabuhan utama pemberangkatan ekspor Indonesia. Sepanjang 2017-2021, total ekspor yang melewati Pelabuhan Tanjung Priok mencapai US$274,2 miliar atau setara dengan 28,9% dari total ekspor Indonesia.
Posisi kedua ada Pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur. Namun perannya jauh lebih kecil dibandingkan Jakarta, yaitu hanya 8,8%, dengan total ekspor senilai US$83,8 miliar.
Data yang dikompilasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) itu menyiratkan bahwa distribusi pengiriman barang ekspor Indonesia belum merata. Kontribusi Tanjung Priok yang sangat besar menunjukkan bahwa barang-barang ekspor yang diproduksi di luar Jakarta pun masih harus diangkut ke Jakarta sebelum dikirim ke luar negeri.
Ambil contoh otomotif yang diproduksi di luar Jakarta. Produk tersebut sebagian besar justru diangkut dari Tanjung Priok menuju pasar luar negeri.
Berharap arus ekspor otomotif makin lancar dan efisien, pemerintah membangun Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat yang telah diresmikan pada akhir 2020. Sejak 2021, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah menyerahkan pengelolaan terminal kendaraan kepada PT Pelabuhan Patimban Indonesia, dari sebelumnya ditugaskan kepada PT Pelindo III.
Sejatinya, pelabuhan tersebut disiapkan sebagai hub produksi otomotif serta memperbesar pasar ekspor dan mengurangi traffic existing di Pelabuhan Tanjung Priok. Melalui pelabuhan senilai Rp43,2 triliun ini diharapkan dapat menekan biaya logistik di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten hingga Jawa Tengah.
Sayangnya, sejak peluncuran pada Desember 2020, aktivitas ekspor di Pelabuhan Patimban masih sepi. Peran pelabuhan tersebut belum efektif sepenuhnya, jika terlihat dari ekspor kendaraan selain yang bergerak di atas rel kereta api serta bagian dan aksesorinya (HS87). Pada 2021, Patimban baru memberangkatkan senilai US$75 juta atau 0,9% dari total ekspor HS87. Sementara 87,5% aktivitas ekspor kendaraan masih dilakukandi Pelabuhan Tanjung Priok.
Pilihan industri otomotif yang masih lewat Tanjung Priok tentu soal efisiensi, walaupun jaraknya mungkin lebih jauh. Dengan begitu, harapan memangkas biaya logistik melalui Patimban masih menjadi pekerjaan rumah.
Aroma inefisiensi logistik memang begitu terasa pada perjalanan ekspor. Banyak komoditas utamanya tidak diangkut dan dikirim melalui pelabuhan yang ada atau yang terdekat dari wilayah penghasil. Misalnya komoditas besi dan baja (HS72) justru menjadi komoditas ekspor utama yang dikirim melalui Pelabuhan Kolonodale, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Nilai ekspornya mencapai US$26,8 miliar.
Asal tahu saja, menurut Booklet Peluang Investasi Besi Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sumber daya bijih besi primer terbesar ada di Sumatera. Pada 2020 misalnya, jumlahnya sebanyak 3.672 juta ton.
Untuk sumber daya bijih besi laterit sebanyak 1.571 juta ton berada di Maluku. Sedangkan cadangan bijih besi lateritnya mencapai 516 juta ton, sehingga Maluku menjadi wilayah dengan cadangan bijih besi laterit terbesar di Indonesia.
Sebaran Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) bijih besi pada 2020 paling banyak berada di Kalimantan dengan jumlah mencapai 34 unit. Kemudian disusul oleh Maluku Utara 29 unit dan Sumatera 28 unit. Sementara di Sulawesi hanya ada 10 unit izin dari total 107 IUP OP bijih besi yang tersebar di Indonesia. Kondisi ini mengonfirmasi bahwa aktivitas logistik barang komoditas ekspor di Indonesia masih belum efisien.