JAKARTA – Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, yang menurut World Population Review, jumlahnya 231 juta jiwa pada 2021. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri memperkirakan, 237 juta penduduk atau 86,9% dari total 272 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Artinya mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim.
Potensi pasar yang nyata bagi industri halal. Halal adalah istilah yang secara harfiah dipahami sebagai “apa saja yang diperbolehkan atau diizinkan dalam hukum Islam”. Bukan sekadar makanan, tetapi menyangkut produk dan jasa lain dari industri.
Deklarasi Industri Syariah di Indonesia
Sekilas tentang industri syariah serta pendukungnya seperti di bidang sosial, antara lain dapat dilihat melalui jejak regulasi, seperti:
Kebutuhan terhadap barang dan jasa dengan status halal telah mendorong perkembangan ekonomi syariah di negara-negara dengan penduduk muslim besar lainnya. Hal ini mendorong berkembangnya ekonomi dan keuangan syariah atau industri halal global.
Muslim mewakili basis konsumen terbesar di dunia, yakni sebanyak 1,9 miliar orang atau 25% dari populasi global pada 2020 dan diproyeksikan mencapai 2 miliar orang pada 2030.
“State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2022” memperkirakan warga muslim di dunia menghabiskan US$2 triliun pada 2021 untuk konsumsi dalam rantai industri halal. Jumlah tersebut meningkat 8,9% dari tahun sebelumnya.
Pada 2025, pengeluaran muslim secara global diperkirakan mencapai US$2,8 triliun, dengan tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif (CAGR) empat tahun 7,5%.
Sayangnya, peran Indonesia dalam rantai industri halal global masih sebagai konsumen, belum sampai menjadi salah satu pemasok utama industri halal global. Belum optimalnya peran sebagai produsen, antara lain tercermin dari intensitas perdagangan antara Indonesia dengan negaranegara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang saat ini beranggota 57 negara.
Anggota OKI merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim. Organisasi ini tentu memiliki peluang besar dalam ekosistem kerja sama industri halal.
Dalam empat tahun terakhir, perdagangan Indonesia dengan negara OKI selalu defisit –impor lebih tinggi dibandingkan ekspor- kecuali pada 2020, di saat krisis dan nilainya memang sedang menciut. Ini mengindikasikan bahwa Indonesia justru masih menjadi pasar empuk bagi negaranegara OKI.
Kontribusi Indonesia dalam hubungan dagang dengan anggota OKI pun masih sangat kecil, yaitu di kisaran 6,8-7,2%. Bahkan nilai perdagangannya pun terus menurun sejak 2019. Sejatinya, penurunan ini bukan ancaman, tetapi peluang yang dapat ditumbuhkan kembali.
Memang tidak mudah untuk menggairahkan kembali hubungan yang makin lesu. Apalagi, data UN-Comtrade memperlihatkan bahwa intensitas perdagangan sesama negara OKI tidak bergerak ke arah yang lebih baik, bahkan dalam tiga tahun terakhir proporsinya mengalami penurunan. Pada 2017, rasio nilai perdagangan sesama negara OKI dibandingkan total perdagangan OKI dengan dunia hanya sekitar 17,5%. Nilainya kemudian menyusut, sehingga pada 2020, porsinya tinggal 16,8%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara-negara OKI lebih banyak mengembangkan kerja sama perdagangan dengan negara-negara di luar organisasi ketimbang dengan negara satu organisasi. Indonesia tentu dapat memainkan peran penting di sini.