JAKARTA – Sabtu, 14 Mei 2022, Presiden Joko Widodo serta Ibu Negara kembali ke Tanah Air setelah mengunjungi Amerika Serikat (AS) selama lima hari sejak Selasa, 10 Mei 2022. Kunjungan kerja itu dalam rangka menghadiri rangkaian pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Khusus ASEAN-AS atau ASEAN-US Special Summit selama dua hari.
KTT menghasilkan “ASEAN-US Joint Vision Statement”, yaitu komitmen peningkatan kerja sama di berbagai sektor strategis. Di antaranya, melalui program “ASEAN-US Health Futures Initiative” sebagai penguatan kerja sama pemulihan pandemi dan keamanan kesehatan guna memperkokoh ketahanan kesehatan. Selain itu, kesepakatan terkait penguatan rantai pasok dan konektivitas kawasan, peningkatan kerja sama dalam menanggulangi perubahan iklim serta kemaritiman.
Penyelenggaraan KTT ini semacam pemanasan atas “kehadiran kembali” AS di kawasan ASEAN yang belakangan rada surut. Kelak, gong sesungguhnya yang akan ditabuh adalah Kerangka Kerja Sama Ekonomi Indo-Pasifik (Indo- Pacific Economic Framework/IPEF), bersamaan dengan lawatan Presiden AS Joe Biden ke Jepang pada 22-24 Mei 2022.
Kerangka tersebut merupakan inti dari kebijakan ekonomi pemerintahan Joe Biden terhadap kawasan Indo-Pasifik. Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, justru menarik diri dari Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) pada 2017.
Amerika Serikat merupakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Menurut data Bank Dunia, Produk Domestik Bruto (PDB) AS mencapai US$21 triliun pada 2020. Angka tersebut menyumbang 24,7% perekonomian dunia secara keseluruhan.
Dengan potensi sebesar itu, tak mengherankan jika seluruh negara di dunia berlomba untuk bekerja sama dengan AS, terutama dalam bidang ekonomi. Apalagi, AS juga menjadi negara ketiga dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, sehingga menjadikannya pasar yang potensial bagi perdagangan internasional.
Pada 2020, nilai impor AS yang mencapai US$2,4 triliun merupakan yang terbesar di dunia, menyumbang 14,0% terhadap total impor dunia. Dari sisi ekspor, AS menyumbang kedua terbesar dengan akumulasi transaksi US$1,4 triliun. Nilai tersebut setara dengan 8,4% terhadap total ekspor dunia. China ada di posisi teratas dengan nilai ekspor US$2,6 triliun, menyumbang 15,2% terhadap total ekspor dunia.
Kerja sama ASEAN dengan AS, jika dilihat di bidang ekonomi, sesungguhnya telah berjalan dengan baik. Pada 2020 misalnya, porsi ekspor ASEAN ke AS jika dibandingkan dengan total ekspor AS mencapai 14,9%. Dengan perbandingan dan tahun yang sama, kiriman barang dan jasa dari ASEAN ke China hanya 8,4%.
Bahkan nilai ekspor ASEAN ke AS terus meningkat, dari US$132 miliar pada 2016 menjadi US$212 miliar pada 2020. Namun pasarnya masih sangat kecil, karena porsi ASEAN terhadap total impor AS hanya 4,1% pada 2020, turun dari tahun sebelumnya.
Kini, Presiden Biden berupaya mengembalikan hubungan ekonomi AS di Indo-Pasifik melalui IPEF, sebagai koreksi atas kebijakan pendahulunya, Presiden Trump, yang banyak mengambil kebijakan luar negeri ekstrem. Ini sejalan dengan prinsip yang diusungnya, America First Policy.
Trump tidak hanya menarik AS mundur dari TPP setelah tiga hari menjabat. Tapi juga masih segar dalam ingatan, Trump memberlakukan tarif impor terhadap mayoritas komoditas asal China yang kemudian memicu perang dagang dan ketegangan politik kedua negara raksasa itu. IPEF ditengarai sebagai langkah AS menjegal pengaruh China di kawasan itu. Tidak hanya dalam perdagangan internasional, tetapi juga geopolitik dan ekonomi secara umum.
Meski belum jelas apa yang ditawarkan AS melalui IPEF, namun banyak pihak menyambut baik inisiatif tersebut. Beberapa negara bahkan sudah menyatakan sikap bergabung, seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Australia.
Mereka yang telah setuju seperti menandatangani cek kosong yang disodorkan Amerika Serikat. Pantas, Indonesia dan negara-negara banyak negara lainnya belum bersikap.