Dilema Cukai Rokok

JAKARTA – Harga minyak mentah masih asyik bertengger di atas patokan pemerintah, seperti termaktub dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022. Ketika pemerintah menetapkan asumsi US$63 per barel, harga di pasar internasional hingga akhir minggu lalu tercatat US$97,6 per barel.

Selisih antara harga yang ditetapkan oleh APBN dengan harga di pasar adalah beban tambahan bagi kantong pemerintah lantaran masih ada bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi, yaitu Pertalite. Anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 yang disiapkan Rp134 triliun. Rinciannya: Rp77,5 triliun untuk subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram, Rp56,5 triliun subsidi listrik.

Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral (ESDM) pernah menghitung, setiap harga minyak mentah naik US$1 per barel, akan ada tambahan subsidi dengan rincian: elpiji Rp1,5 triliun, minyak tanah Rp49 miliar, kompensasi BBM sekitar Rp2,7 triliun dan kompensasi listrik Rp295 miliar.

Karena itu, pemerintah harus menyiapkan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi ratusan triliun. Belum lagi kalau menghitung subsidi pangan strategis seperti minyak goreng serta anggaran bantuan sosial supaya daya beli masyarakat tetap terjaga.

Beratnya beban anggaran menanggung subsidi energi sudah disampaikan Presiden Joko Widodo sambil memberikan sinyal naiknya harga BBM bersubsidi. Alasannya, seperti disampaikan melalui media sosial Youtube pada 8 Juli 2022, kenaikan harga minyak mentah dunia membuat subsidi energi membengkak.

Selama ini, penopang utama APBN memang masih perpajakan. Namun cukai hasil tembakau, yang di dalamnya terutama dari rokok, kontribusinya terhadap penerimaan negara terus naik. Jika pada 2012 hanya 6,8%, maka pada 2020 sudah 10,3%, kemudian menjadi 9,4% di 2021. Tahun ini 10,5% dengan asumsi APBN yang belum berubah.

Sejatinya, kenaikan tarif cukai hasil tembakau seperti yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022 dengan besaran 12%, bertujuan sebagai pengendalian konsumsi. Idealnya, kebijakan itu untuk mendorong peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Dengan begitu, penambahan penerimaan negara hanya bonus.

Namun pada APBN Perubahan yang dikeluarkan melalui Peraturan Presiden pada 27 Juni 2022, target penerimaan dari cukai hasil tembakau justru dinaikkan, dari Rp193,5 triliun (APBN 2022) menjadi Rp209,9 triliun. Dengan perubahan itu, potensi kontribusi cukai hasil tembakau terhadap total penerimaan negara bisa melonjak jadi 11,4%.

Dari mana tambahan untuk target baru itu? Kemungkinannya ada dua: kenaikan cukai rokok atau mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksi. Bagian yang terakhir ini menjadi kontradiksi dengan tujuan “mulia” cukai rokok sebagai upaya pengendalian.

Bahkan bulan ini, pemerintah baru saja menaikkan cukai rokok jenis sigaret kelembak kemenyan (KLM). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK 109/PMK.010/2022.

Untuk jenis KLM golongan I buatan dalam negeri, dikenakan bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari 4 juta batang rokok. Tarif cukainya Rp440 per batang dengan harga jual eceran per batang paling rendah Rp780.

Sedangkan jenis KLM golongan II buatan dalam negeri ditujukan untuk perusahaan yang memproduksi tidak lebih dari 4 juta batang rokok. Tarifnya cukainya Rp25 per batang, dengan harga jual eceran Rp 200 per batang atau gram.

Lalu, untuk tembakau yang diimpor, harga jual eceran menjadi Rp 780 per batang dan tarif cukai Rp 440 per batang. Tarif ini berlaku untuk golongan I dan II KLM tersebut.

Hasil tembakau seperti rokok yang diklasifikasikan sebagai produk yang berbahaya bagi kesehatan, pada akhirnya lebih terlihat sebagai penyangga penerimaan negara ketimbang pengendalian peredarannya demi kesehatan. justru memberikan manfaat besar bagi perekonomian. Apalagi, di saat sulit seperti sekarang.

Download Edisi White Paper

Kinerja Ekonomi Bangka Belitung

Artikel sebelumnya

Antara Rokok dan Kemiskinan

Artikel selanjutnya

Baca Juga