JAKARTA — Diam-diam, harga-harga yang ditanggung produsen melambung tinggi, jauh melampaui kenaikan harga di tingkat konsumen.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahunan di tingkat produsen pada kuartal II/2022 mencapai 11,77% — lebih dari dua kali lipat inflasi tahunan konsumen yang pada Juli tercatat 4,94%.
Catatan ini merupakan rekor inflasi produsen paling tinggi, setidaknya dalam 11 tahun terakhir. Dan bukan hanya itu. Selama periode yang sama, selisih antara inflasi produsen dan konsumen saat ini juga merupakan yang paling lebar.
Inflasi produsen merujuk pada peningkatan harga-harga yang ditanggung produsen. Misalnya, harga bahan mentah, harga barang setengah jadi, biaya jasa tenaga kerja, dan biaya input produksi yang lain.
Berbeda dengan inflasi konsumen yang diumumkan tiap bulan, inflasi produsen disiarkan setiap triwulan.
Lampu Kuning di Balik Pintu
Tingginya inflasi produsen memberi sinyal bahwa biaya produksi telah melonjak jauh di atas kenaikan harga yang dibebankan kepada konsumen. Meski belum tentu membuat rugi, kenaikan ini menggerus marjin keuntungan produsen. Lazimnya, kenaikan biaya produksi akan dibebankan pada harga jual yang dibayar konsumen.
Jika kita melacak pergerakan inflasi produsen dan konsumen selama beberapa tahun terakhir, tampak bahwa keduanya saling mengikuti. Kerap kali, inflasi produsen menjadi lead indicator yang akan segera diikuti kenaikan harga di tingkat konsumen, kadang juga sebaliknya.
Jika saat ini produsen belum menyesuaikan harga jual, barangkali karena produsen khawatir kenaikan tersebut akan mengerem tingkat permintaan pasar, yang baru saja pulih akibat pandemi.
Namun, jika marjin keuntungan semakin tipis, produsen tampaknya tak punya pilihan lain kecuali “menyesuaikan” harga jual produknya.
Besarnya selisih antara kenaikan harga di tingkat produsen dan konsumen seperti lampu kuning yang mengingatkan bahwa ancaman inflasi sedang menunggu di balik pintu.