JAKARTA – Di balik gemerlap harga sawit di pasar internasional dan posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir papan atas, minyak sawit mentah menyisakan beragam anomali. Dari 10 provinsi penghasil sawit terbesar, tak semua kinerja ekonominya mengagumkan.
Seperti ada semacam penyimpangan dari yang seharusnya terjadi, mengingat tahun ini harga sawit di pasar internasional sangat tinggi. Bahkan pada Maret 2022, harga minyak sawit US$1.777 per ton dan merupakan yang tertinggi, setidaknya dalam 25 tahun terakhir. Rekor tersebut juga melekat pada harga minyak inti sawit (palm kernel oil) pada Februari 2022 saat harganya menyentuh US$2.443 per ton.
Namun tingginya harga sawit tak sepenuhnya dinikmati oleh wilayah penghasil. Dari 10 provinsi penghasil terbesar, hanya Kalimantan tengah dan Sumatera Selatan yang ekonominya mampu tumbuh di melampaui kinerja nasional pada triwulan I-2022. Pertumbuhan ekonomi di dua wilayah tersebut masingmasing 7,3% dan 5,2% (yoy). Sementara perekonomian nasional tumbuh 5,0%.
Para petani juga tak mampu merasakan nikmatnya harga sawit yang melambung. Tingkat kesejahteraannya tidak ikut terangkat. Kondisi itu, antara lain ditunjukkan melalui nilai tukar petani (NTP) di sektor perkebunan.
NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar. Nilai NTP di atas 100 berarti petani mengalami surplus. Harga produksi petani naik lebih besar dari kenaikan harga yang dikonsumsi petani. Berlaku sebaliknya jika nilai NTP di bawah 100. Jika nilai NTP sama dengan 100, petani mengalami impas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Juni 2022, NTP sektor tanaman perkebunan di wilayah penghasil kelapa sawit terbesar secara keseluruhan memang di atas 100. Indikator itu menunjukkan bahwa para petani sawit sektor tanaman perkebunan di wilayah tersebut masih lebih sejahtera dibandingkan 2018 sebagai tahun dasar.
Kendati demikian, jika dibandingkan antara kondisi Januari dengan Juni 2002 atau year to date, tingkat kesejahteraan petani perkebunan di 10 provinsi tersebut mengalami penurunan. Dari data di atas terlihat bahwa penurunan terdalam terjadi pada petani di Bengkulu, yaitu melemah 19,7%. Pada Januari 2022, NTP ada di posisi 157,3, kemudian menjadi 126,3 pada Juni 2022.
Seiring dengan menurunnya kesejahteraan petani di Bengkulu, tingkat kemiskinan di provinsi tersebut juga tinggi. Bahkan dari 10 provinsi penghasil sawit terbesar di Tanah Air, tingkat kemiskinan di Bengkulu merupakan yang tertinggi, yaitu 14,4% pada September 2021, lebih tinggi dibandingkan nasional yang 9,7%. Hal serupa terjadi di Sumatera Selatan yang menyimpan tingkat kemiskinan 12,8%.
Kendati demikian, posisi Bengkulu dari sisi tingkat pengangguran terbuka (TPT) merupakan yang terendah dibandingkan sembilan provinsi penghasil sawit terbesar lainnya. Dengan TPT 3,4% pada Februari 2022, posisinya jauh lebih baik dibandingkan nasional yang mencapai 5,8%.
Sumatera Barat dan Kalimantan Timur menjadi dua provinsi penghasil sawit dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi. TPT di dua wilayah itu masing-masing mencapai 6,2% dan 6,8%.
Tragisnya lagi, kondisi sumber daya manusia di wilayah penghasil sawit pada umumnya cenderung masih rendah. Hanya tiga provinsi: Kalimantan Timur, Riau dan Sumatera Barat yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di atas nasional.
Indikator tersebut menunjukkan bahwa SDM di tiga provinsi itu rata-rata lebih unggul atau berkualitas dibandingkan tujuh provinsi lainnya. Faktor SDM ini memiliki potensi untuk mendukung pengembangan sektor perkebunan di provinsi tersebut.
Data BPS mengungkapkan, posisi tertinggi ditempati oleh Kalimantan Timur, dengan IPM 76,9. Sedangkan yang terendah ada di Kalimantan Barat, yaitu 67,9.