JAKARTA – Urusan komitmen di atas kertas untuk mendukung energi baru dan terbarukan mungkin melimpah. Hingga saat ini sudah terbit undang-undang, peraturan pemerintah, hingga beragam pedoman seperti dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Isinya muluk-muluk.
Selain Undang-Undang tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement tentang perubahan iklim, beragam peraturan juga telah diterbitkan. Bahkan ada National Determined Contribution (NDC), dokumen komitmen Indonesia terkait perubahan iklim yang disampaikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semuanya menjadi panduan untuk gerakan merawat lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim.
Versi terbaru NDC keluar pertengahan 2021. Di antara isinya, menurunkan emisi karbon hingga 2030 sebesar 29% melalui sumber daya sendiri dan 41% jika mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional. Salah satu langkah konkret pemerintah dalam memenuhi komitmennya dituangkan dalam kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT).
Regulasi soal EBT juga melimpah. Dari peraturan pemerintah hingga peraturan kementerian. Tujuannya mulia: dalam rangka mendukung ketahanan energi nasional, khususnya dari sisi ketersediaan.
Bahkan sejak 25 Januari 2021, DPR telah membuat naskah akademik dan draf Rancangan Undang- Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang siap-siap ditetapkan menjadi undang-undang. Energi yang masuk kategori EBT berasal dari panas bumi, air, mini dan mikro hidro, bioenergi, surya, angin dan laut. Tapi realisasinya masih senyap. Mari lihat target muluk di Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Dua regulasi itu menetapkan target EBT dalam bauran energi primer minimal 23% pada 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Realisasinya hingga saat ini, separuh pun belum. Dari data yang dikeluarkan Kementerian Energi, kontribusi EBT dalam energi primer pembangkit listrik pada 2020 baru 11%. Selebihnya masih didominasi oleh sumber energi yang tidak terbarukan. Ironinya, porsi batu bara justru terus melaju tiap tahun.