JAKARTA – Sebaran SDM unggul yang relatif merata, dari Jawa hingga Sulawesi dan Bali, merupakan angin segar bagi Indonesia yang sedang ketiban bonus demografi, yang puncaknya terjadi pada 2030. Bonus itu berupa makin banyaknya orang Indonesia yang masuk angkatan kerja. Tapi belum tentu punya pekerjaan.
Namun yang pasti, jika datanya dilihat secara parsial, tidak semua 10 wilayah dengan Indeks SDM Unggul masuk dalam daftar terbaik. Ambil contoh penduduk berpendidikan tinggi pada 2021. Dalam daftar 10 besar daerah dengan rasio penduduk yang mampu menamatkan pendidikan tinggi terbanyak, ada lima wilayah yang tidak masuk dalam daftar 10 wilayah dengan Indeks SDM Unggul Tertinggi: Kota Kendari, Kabupaten Maybrat, Kota Jayapura, Kota Baubau dan Kota Ambon.
Kota Banda Aceh yang menjadi juara dalam Indeks SDM Unggul tetap ada di urutan pertama. Pada 2021, 26,7% penduduknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 7,3%.
Dengan begitu, sekiranya ada perusahaan yang menjadikan ijazah pendidikan sebagai acuan utama merekrut tenaga kerja, penting untuk menengok 10 daerah ini. Di wilayah-wilayah tersebut para sarjana berhamburan. Dari 100 warga Banda Aceh misalnya, ada sekitar 27 sarjana. Di Kota Ambon pun, dari 100 orang, sekitar 17 di antaranya telah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi.
Di luar itu, usia wajib belajar yang sempat dicanangkan selama 12 tahun oleh pemerintah, masih jauh dari harapan. Pada 2021, bahkan rata-rata lama sekolah penduduk secara nasional hanya 8,5 tahun. Sedangkan yang 12 tahun dan selebihnya hanya ada di tiga kota: Banda Aceh, Kendari dan Ambon.
Dalam 10 wilayah yang rata-rata usia lama sekolah penduduknya paling panjang, masih ada di kisaran 11-12 tahun. Rendahnya rentang lama sekolah ini menunjukkan banyaknya penduduk yang putus pendidikan di tengah jalan, sehingga maksimal hanya sampai sekolah lanjutan atas.
Rasio penduduk yang memiliki ijazah pendidikan tinggi dan rata-rata lama sekolah memang menjadi indikator keberadaan SDM unggul. Persoalannya, masih banyak para sarjana yang belum terserap lapangan kerja. Bahkan mereka menjadi bagian dari pengangguran terbuka.
Seperti didefinisikan oleh BPS, pengangguran terbuka adalah mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan; tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha; tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Pada 2021, tingkat pengangguran terbuka ada 6,5%. Untuk lulusan perguruan tinggi mencapai 6,0%.
Di Banda Aceh, wilayah yang banyak memiliki SDM unggul mencapai 7,3% atau dari 100 sarjana, sekitar 7 orang tercatat sebagai pengangguran terbuka. Bahkan Kota Bekasi dan Tangerang Selatan lebih banyak lagi, yaitu masing-masing 10,0% dan 9,0%. Bersama dengan tiga daerah itu, Kota Denpasar juga memiliki 6,3% pengangguran terbuka dari lulusan perguruan tinggi. Di empat wilayah itu kondisinya berada di atas rata-rata nasional yang hanya 6,0%.
Ini juga yang menjadi persoalan bagi SDM unggul di banyak wilayah. Banyak yang belum terserap lapangan kerja, walaupun secara statistik mereka siap berkontribusi.
Bahkan bagi yang sudah tidak menjadi penganggur, masih banyak yang bidang pekerjaannya tidak sejalan dengan bidang studi yang dipelajari. Istilahnya horizontal mismatch. Seperti dipublikasikan Jurnal Ekonomi dan Pembangunan terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2021, horizontal mismatch secara nasional mencapai 68,4%. Ini berarti sebagian besar pekerja beraktivitas di luar kompetensi atau ada ketidakcocokan antara pendidikan yang ditempuh dengan pekerjaan yang dijalankan.
Selain itu, ada juga istilah vertical mismatch. Contoh gampangnya, sarjana mengerjakan bidang atau tugas yang seharusnya dapat dilakukan oleh karyawan dengan kualifikasi lulusan SMA. Hal ini berpengaruh terhadap upah yang diterima, yaitu lebih rendah.
Jenjang pendidikan tinggi yang dengan lelah diselesaikan tak selamanya berperan maksimal meningkatkan kesejahteraannya. Bukan tak mungkin, banyak jenis bidang studi tak lagi sejalan dengan harapan dan kebutuhan dunia kerja.