Mari Kembali ke Energi Fosil

JAKARTA – Sementara ini, lupakan cita-cita muluk transisi energi: mengubur energi fosil dengan energi terbarukan. Di tengah krisis energi yang sedang terjadi di banyak negara maju, batu bara kembali jadi primadona.

Negara-negara maju yang selama ini mengampanyekan transisi menuju energi hijau, tentu tanpa batu bara, kini bertekuk lutut untuk mendapatkan bahan bakar fosil itu. Banyak alasan ketika sejumlah negara besar Eropa seperti Jerman minta pasokan batu bara Indonesia. Musim dingin segera tiba, sementara pasokan energi primer tersendat.

Selama ini, Rusia merupakan pemasok utama energi primer Jerman. Menurut catatan New York Times, tahun lalu Rusia memasok lebih dari setengah gas alam dan sekitar sepertiga dari semua minyak yang dibakar Jerman untuk memanaskan rumah, pabrik listrik, dan bahan bakar mobil, bus, dan truk. Sekitar setengah dari impor batu bara Jerman, energi penting untuk produksi baja, berasal dari Rusia.

Bahkan menurut catatan media Jerman, Deutsche Welle (DW), hampir 70% impor batu bara termal -biasa digunakan untuk pembangkit listrik- Uni Eropa berasal dari Rusia. Pangkalnya adalah embargo Uni Eropa terhadap batu bara Rusia garagara perang.

Kebijakan itu dianggap sebagai hukuman kepada Rusia. Tapi kini, mereka harus berburu batu bara, termasuk ke Indonesia, untuk menyalakan pembangkit.

Invasi Rusia ke Ukraina memang membuat negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa (UE) berang. Sejak 8 Maret 2022 Amerika resmi melarang impor minyak, gas, dan batu bara dari Rusia. Pada akhirnya cerita berbalik: krisis energi dan pangan. Bahkan perang dua negara tersebut juga membuat rantai pasok pangan tersendat, sehingga krisis energi dan pangan saat ini sedang menjadi hantu global.

Sanksi tersebut mendorong harga minyak mentah. Maklum, merujuk pada “British Petroleum Statistical Review 2022”, Rusia telah melampaui Amerika dan Arab Saudi sebagai eksportir minyak terbesar dunia. dengan sekitar 8% dari pasokan dunia pada tahun 2021. Dan lebih dari 70% produk minyak Rusia di ekspor ke pasar Eropa dan AS.

Pasokan di pasar global yang tersendat membuat harga energi, termasuk batu bara melonjak. Kesepakatan untuk menihilkan pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara, untuk sementara pupus.

Kenaikan kebutuhan konsumsi listrik dunia, antara lain dipicu oleh terus meningkatnya gairah kendaraan listrik. Berdasarkan Global EV Outlook 2022 International Energy Agency (IEA), penjualan kendaraan listrik meningkat dua kali lipat pada 2021 dari tahun sebelumnya, menjadi rekor baru sebesar 6,6 juta.

Hampir 10% dari penjualan mobil global adalah mobil listrik pada tahun 2021, dan membuat jumlah total mobil listrik di dunia menjadi sekitar 16,5 juta unit. Penjualannya diperkirakan terus meningkat pada 2022. Pada kuartal pertama, 2 juta unit telah terjual, naik 75% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Seiring dengan perkembangan tersebut, kebutuhan terhadap batu bara makin marak. Apalagi di tengah tersendatnya pasokan minyak dan gas Rusia. Kenaikan harga batu bara tak terhindarkan. Berdasarkan data komoditas Bank Dunia, sebelum turun ke level US$280 per metrik ton pada Mei 2022, harga batu bara internasional sempat mencapai titik tertingginya US$302 per metrik ton pada April 2022. Ke depan, harganya berpeluang terus naik seiring dengan meningkatnya konsumsi listrik.

Batu bara kini menjadi primadona, termasuk di Indonesia. Bahkan pemerintah pun harus rela dua kali menunda pajak karbon: dari rencana berlaku April 2022, kemudian bergeser menjadi Juli, selanjutnya entah kapan.

Download Edisi White Paper

10 Kantong Manufaktur di Indonesia

Artikel sebelumnya

Surga Batu Bara di Kalimantan

Artikel selanjutnya

Baca Juga