JAKARTA – Ada yang janggal dalam penyimpanan devisa hasil ekspor kita. Kinerja ekspor yang selalu tumbuh subur sejak lebih dari setahun terakhir, ternyata tak membuat cadangan devisa serta merta menjadi gendut. Malah sebaliknya. Cadangan devisa justru cenderung melorot turun.
Bank Indonesia mencatat, jumlah cadangan devisa berkurang US$ 2,14 miliar, dari US$ 138 miliar pada Januari 2021, menjadi US$ 135,86 miliar pada April 2022. Bukan penurunan yang besar, sebenarnya — tapi menjadi ganjil karena selama periode yang sama, kita terus mencetak surplus perdagangan. Artinya, nilai ekspor selalu melampaui impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, surplus perdagangan dari Januari 2021 hingga April 2022, jika diakumulasikan, jumlahnya mencapai US$ 50,73 miliar.
Lalu di mana hasil devisa ekspor ini disimpan? Di tengah kinerja ekspor yang gemilang, kok bisa cadangan devisa justru malah melorot.
Lazimnya, setelah menerima dana hasil ekspor (dalam bentuk valuta asing, kebanyakan berupa dolar AS), para eksportir akan menukarkan sebagian dolarnya dengan rupiah. Ini perlu untuk membayar macam-macam biaya, seperti gaji karyawan, membeli bahan baku lokal, membayar cicilan utang, rekening listrik, sewa gudang, dan lain-lain.
Sebagian yang lain akan tetap disimpan dalam bentuk dolar, untuk membayar pemasok dari luar negeri (jika sebagian bahan baku atau bahan penolong harus diimpor), membayar utang valas (kalau ada), biaya angkutan kapal, asuransi, dan lain-lain.
Semua devisa hasil ekspor, baik yang ditukarkan dengan rupiah maupun yang disimpan dalam dolar, umumnya akan mengalir ke bank — disimpan dalam rekening bank, untuk mendapatkan imbalan bunga.
Oleh bank, simpanan dolar ini tentu tidak dibiarkan mengendap di dalam brankas, tapi akan dioper lagi menjadi aset-aset produktif. Misalnya, disalurkan dalam bentuk kredit valas, atau dibelikan surat utang berdenominasi valuta asing (termasuk obligasi pemerintah).
Ujungnya, hampir semua devisa hasil ekspor yang dibawa pulang ke Indonesia, mestinya akan bermuara di bank sentral, dan disimpan sebagai cadangan devisa. Bank Indonesia dapat menyimpan cadangan ini dalam bentuk tunai (dalam mata uang dolar, euro, yen, atau mungkin juga yuan), bisa berupa berupa surat utang pemerintah asing (Treasury Bill Amerika, obligasi Samurai Jepang, EuroBond, dan lain-lain), atau bisa pula dalam bentuk emas.
Cadangan devisa merupakan “peredam kejut” utama dalam kebijakan moneter. Bank sentral menggunakan cadangan devisa untuk mengendalikan nilai tukar mata uang, agar lebih stabil atau tidak bergerak terlampau liar.
Menurut Kepala Departeman Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, penurunan cadangan devisa belakangan ini terjadi karena ada pembayaran utang luar negeri. “Kita membayar utang luar negeri lebih besar dari pinjaman yang kita tarik (cairkan),” katanya.
Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) memang mencatat adanya penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah. Tapi nilainya hanya berkurang Rp 156 triliun, dari Rp 2.915 triliun pada awal Januari 2021, menjadi Rp 2.759 triliun pada akhir April 2022. Jika didolarkan, penurunan jumlah utang luar negeri hanya sekitar US$ 10,75 miliar – masih jauh dari tabungan yang dibawa oleh surplus perdagangan.
Apakah ada capital flight, pelarian modal ke luar negeri?
Coba kita lihat transaksi investor asing di pasar modal. Menurut data perdagangan yang dicatat Bursa Efek Indonesia, selama Januari 2021 hingga April 2022, dana investor asing justru cenderung terus mengalir masuk ke pasar modal. Jika ditotal, aliran dana asing ke bursa saham Indonesia selama periode itu mencapai Rp 110 triliun. Artinya, justru ada capital inflow (aliran masuk valas), yang nilainya sekitar US$ 7,59 miliar.
Serbuan capital inflow sebesar itu, ditambah simpanan dari cadangan devisa (yang berkurang), mestinya sudah bisa menutup penurunan jumlah utang luar negeri pemerintah. Lalu, sekali lagi, kemana perginya devisa hasil ekspor?
Apakah hasil devisa itu tidak dibawa pulang, melainkan disimpan di bank-bank di luar negeri? Dugaan seperti ini sangat spekulatif, bahkan mestinya hampir mustahil. Soalnya, Bank Indonesia telah memiliki rambu-rambu ekstraketat, berkaitan dengan penerimaan devisa hasil ekspor ini.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 disebutkan bahwa seluruh devisa hasil ekspor dari pengolahan sumber daya alam (produk kehutanan, perkebunan, pertambangan, perikanan), wajib disimpan dalam rekening khusus di perbankan dalam negeri. Jumlah devisa yang disimpan harus sama persis dengan dokumen ekspor di pabean. Kalau pun ada selisih, jumlahnya tak boleh lebih dari Rp 50 juta.
Jika aturan ini tak diindahkan, eksportir bukan hanya dikenai sanksi administratif (berupa penangguhan pelayanan ekspor), tapi juga sanksi dari otoritas pemerintah yang berwenang.
Jadi kemana perginya devisa hasil ekspor?