Tiket Pesawat, Embargo, dan Keengganan Berhemat

JAKARTA – Harga tiket pesawat Jakarta – Singapura tiba-tiba meletup hingga Rp 10 juta sekali jalan, naik 8 – 10 kali dari harga normal. Kenaikan ini membuat banyak orang terkejut. Jika sebelum ini banyak yang anteng-anteng saja mendengar kenaikan harga minyak, lonjakan tiket pesawat itu seketika membuat banyak orang kesetrum: kenaikan harga bahan bakar agaknya memang mengkhawatirkan. Tak bisa dianggap sepi.

Mengapa harga minyak melonjak? Sebab pertama tentu saja perang di Ukraina. Perang ini membuat minyak asal Rusia kesulitan memasuki pasar internasional.

Selama ini, Rusia memasok sekitar 10 juta barel minyak per hari. Ini sekitar 10 persen dari pasokan minyak global. Sebelum invasi ke Ukraina, separuh dari jumlah ini dikirim ke Eropa, dengan nilai transaksi hingga US$ 10 miliar sebulan.

Tapi kini Uni Eropa melarang kapal-kapal tanker Rusia mengirim minyak (baik mentah maupun olahan), ke Eropa. Larangan ini akan berlaku secara bertahap hingga delapan bulan ke depan, tapi dampaknya akan segera terasa karena pasokan minyak dari Rusia sangatlah besar.

Serikat pekerja Uni Eropa juga melarang perusahaan-perusahaan Eropa mengasuransikan kapal tanker yang membawa minyak dari Rusia, ke mana pun di dunia. Larangan ini juga akan berlaku bertahap. Tapi karena sebagian besar perusahaan asuransi terbesar dunia berbasis di Eropa, larangan ini dapat mendongkrak biaya pengiriman minyak dari Rusia.

Selain itu, Jerman dan Polandia telah menyatakan akan menyetop impor minyak dari Rusia yang selama ini dikirim melalui pipa. Itu berarti, Eropa akan mengurangi impor minyak dari Rusia hingga 3,3 juta barel setiap hari.

Berbagai jurus embargo ini akan membuat Rusia kehilangan pasar minyaknya yang utama, sekaligus memaksa Eropa mencari sumber pasokan minyak dari tempat lain. Misalnya, mengimpor dari Timur Tengah, yang lebih jauh jaraknya. Perburuan Eropa mencari sumber minyak baru akan membuat persaingan memperebutkan pasokan minyak di pasar global akan semakin ketat – dan harganya bakal semakin mahal.

Lonjakan harga minyak juga disebabkan karena permintaan tetap saja tinggi, meskipun harganya semakin mahal. Penularan virus korona yang terus melandai membuat pabrik-pabrik kini beroperasi kembali dengan kecepatan penuh.

Para pegawai juga kembali masuk kantor. Orang-orang kembali bepergian. Mereka pergi vakansi, mendatangi reuni, mengunjungi sanak keluarga, atau menghadiri undangan pernikahan. Tentu saja, kantor, pabrik, mobil, pesawat dan kapal-kapal yang digunakan untuk transportasi juga memerlukan minyak untuk bahan bakar.

Sampai hari ini, tingginya permintaan minyak tidak tampak mengendur, meski harganya terus naik. Agaknya, belum terlihat alasan untuk berhemat minyak — mungkin karena kita baru saja lolos dari serangan pandemi yang mencekam.

Dan, yang bikin tambah gawat: lonjakan permintaan itu terjadi justru ketika stok minyak dunia sangat rendah. Selama pandemi, perusahaan minyak menutup sumur-sumur tua yang tak menguntungkan lantaran harga jualnya begitu rendah. Kilang-kilang pemurnian juga ditutup, karena tak ada bahan yang diolah, dan tidak ada permintaan.

Harga minyak yang pernah merosot hingga minus, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya, membuat banyak perusahaan minyak memangkas investasi. Ketika permintaan mendadak melonjak seperti sekarang, sumur-sumur tua, rig pengeboran, dan kilang-kilang tidak serta dapat dioperasikan kembali. Para karyawan yang telah dipecat atau dirumahkan juga tak begitu saja dapat direkrut kembali.

Lagi pula, siapa yang dapat menjamin bahwa kenaikan harga ini akan terus berlanjut? Sewaktu-waktu harga minyak bisa turun, bahkan sebelum sumur yang baru digali, mulai berproduksi. Ketimbang berinvestasi pada tambang yang belum pasti, dapat dipahami jika para pengelola perusahaan minyak memilih untuk menghabiskan sebagian besar keuntungan yang meningkat pesat untuk membayar dividen atau membeli kembali saham perusahaan.

Lalu sampai kapan harga minyak akan melambung? Tak ada yang tahu persis. Seperti diakui Sarah Emerson, Presiden ESAI Energy, perusahaan analisis pasar energi global, saat ini sangat sulit memprediksi harga minyak. “Ada banyak potongan teka-teki,” katanya, “pemulihan dari pandemi dan perang di Ukraina membuatnya sangat rumit.”

Kelanjutan dari perang di Ukraina, salah satu pencetus kenaikan harga, sulit sekali diduga. Jika Rusia tiba-tiba mundur dari perang, harga minyak akan segera turun karena sanksi Eropa terhadap Rusia akan melonggar. Sebaliknya, jika Rusia semakin heboh mengobral rudal, harga minyak makin tak terbendung.

Harga juga bisa turun jika produsen di Amerika Serikat (AS), Amerika Latin, Kanada, dan Timur Tengah mulai menimba lagi sumur-sumur tua, untuk meningkatkan produksi.

Laporan dari ESAI Energy pekan ini memperkirakan, produksi kilang akan meningkat pertengahan tahun ini, setelah kilang-kilang di AS, Eropa dan Timur Tengah, menyelesaikan pemeliharaan musiman. Peningkatan pasokan ini bisa meredam kenaikan harga.

Selain itu, ada faktor lain yang tak dapat diprediksi: bencana alam. Badai dan angin topan yang kuat dapat melumpuhkan kilang minyak dan jaringan pipa di sepanjang Teluk Meksiko. Pemerintah AS memperkirakan, Agustus nanti akan terjadi musim badai “di atas normal”.

Para eksekutif industri minyak kerap mengatakan obat untuk harga minyak yang tinggi adalah harga yang sangat tinggi. Ini akan memaksa konsumen berhemat: ketimbang naik mobil pribadi, pilih naik kendaraan umum, naik sepeda, atau berjalan kaki.

Sejauh ini, kecenderungan untuk berhemat itu belum tampak — juga di Indonesia. Kecuali jika, misalnya, pemerintahan Presiden Jokowi memutuskan untuk sepenuhnya menghapuskan subsidi BBM. Tapi itu berarti, harga tiket pesawat, juga harga barang lain yang memerlukan pengangkutan, akan melonjak lebih tinggi lagi.

Dinamika Upah Minimum

Artikel sebelumnya

Sektor Maritim yang Basah

Artikel selanjutnya

Baca Juga