JAKARTA – Bukan dana yang sedikit. Bayangkan kalau dikonversi ke beras yang harganya sekitar Rp13.900 misalnya, jumlah suntikan modal negara tersebut setara dengan 9,04 juta ton atau sekitar 1,5 juta ton per tahun. Volume beras ini kira-kira bisa memenuhi kebutuhan 19 juta orang selama satu tahun, dengan asumsi konsumsi beras per kapita 1,558 kilogram/minggu, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS).
Itu sekadar gambaran dana negara yang diserap Hutama Karya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang infrastruktur. Maklum, sampai 2022, kinerja keuangan perusahaan pelat merah ini masih rugi berturut-turut sejak 2020.
Hampir separuh suntikan modal yang digelontorkan pemerintah dalam bentuk penyertaan modal negara atau PMN sepanjang 2019-2023 mengalir ke perusahaan tersebut. Persisnya sekitar 47,5 persen dari total PMN yang Rp225 triliun. Ini belum menghitung yang akan dikucurkan pada tahun ini.
PMN, dalam bahasa yang lebih serius, dikenal sebagai pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan modal BUMN yang dikelola secara korporasi. Intinya, aliran modal dari pemerintah untuk menyokong modal BUMN.
Tanpa suntikan modal tersebut, kemungkinan yang terjadi pada perusahaan pelat merah sebagai aset negara yang dipisahkan: langsung kolaps atau tidak mampu garap proyek.
Uniknya, walaupun dana PMN digarap secara korporasi, setiap tahun pemerintah menganggarkan dalam APBN. Semacam beban abadi. Mirip oksigen untuk menopang hidup BUMN, yang jika dicabut selangnya langsung roboh.
Nah, sepanjang lima tahun tersebut, selain Hutama Karya, penyerap PMN terbesar lainnya adalah PT PLN (Persero), PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero), PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Itulah lima besar BUMN yang dapat suntikan modal terbesar sepanjang periode 2019-2023.
Uniknya dari perusahaan-perusahaan pelat merah ini, walaupun dapat suntikan modal, ada juga yang tetap bayar dividen atau bagian dari laba kepada pemerintah. Contohnya PLN. Pada 2022 misalnya, perusahaan setrum tersebut dapat suntikan modal dari pemerintah Rp5 triliun. Di akhir tahun, menyetor dividen sekitar Rp750 miliar, menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Pada tahun tersebut, kegiatan usaha PLN mengalami kerugian sekitar Rp35 triliun. Tapi setelah ditopang oleh dana subsidi, laba usahanya langsung jadi Rp36 triliun, dengan laba akhir sekitar Rp11,6 triliun. Dengan laba triliunan, ternyata suntikan modal masih perlu.
Lebih asyik lagi Hutama Karya. Walaupun perusahaan ini rugi, tetap bayar tantiem dan bonus yang pada 2022 sekitar Rp156,5 miliar, naik 100,8 persen dari tahun sebelumnya yang Rp77,9 miliar. Padahal kinerja keuangan perusahaan tersebut untuk periode 2021 dan 2022, masing-masing rugi Rp2,4 triliun dan Rp1,4 triliun.
Perjalanan BUMN memang unik. Dapat suntikan modal, kemudian bayar tantiem. Kalau untung triliunan, lalu untuk apa manfaat suntikan modal yang triliunan juga. Bahkan, ada juga yang kinerja keuangannya rugi, tapi bayar tantiem kepada manajemen tetap lancar.
Mungkin di antara pentingnya PMN, antara lain agar bisa tetap bayar insentif kinerja atau bonus ke Dewan Komisaris maupun Direksi. Tak peduli perusahaan masih rugi, toh tetap dibenarkan oleh Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-12/ 2020 yang salah satu klausul terkait pemberian tantiemnya mensyaratkan: perusahaan tidak semakin rugi dari tahun sebelumnya.
Dengan begitu, walaupun rapor perusahaan masih merah alias rugi, bonus tetap boleh mengalir. Dari mana dananya? Tenang, ada kucuran modal pemerintah atau PMN.