JAKARTA — Dua dasawarsa silam, lebih dari tujuh juta warga Jawa Tengah (Jateng) hidup di bawah garis kemiskinan. Tahun lalu, 2022, jumlah ini sudah turun hampir separuhnya. Tidak kurang dari 3,1 juta warga Jateng berhasil lolos dari jerat kemiskinan selama 20 tahun terakhir.
Gambaran tentang penurunan tingkat kemiskinan di Jateng akan lebih jelas jika dirinci tiap wilayah. Tahun 2000, tingkat kemiskinan pada hampir semua kabupaten/kota di Jateng mencapai dua digit, atau lebih dari 10% total peduduk. Hanya dua kota, yaitu Semarang dan Salatiga, yang di bawah 10%.
Namun 20 tahun kemudian, situasinya berubah. Dari 35 kabupaten/kota, ada 18 yang tingkat kemiskinannya turun hingga di bawah 10%. Hanya 17 wilayah yang masih di atas dua digit – itu pun dengan tingkat penurunan yang cukup dramatis.
Kabupaten Grobogan, misalnya, tingkat kemiskinannya turun 62% dari 31,08% menjadi 11,8% selama periode tersebut. Selain itu, ada Kabupaten Rembang yang tingkat kemiskinannya turun lebih dari separuh dari 33,33% menjadi 14,65%.
Meski tingkat kemiskinan turun drastis, beberapa wilayah di Jateng tetap menjadi kantong-katong warga miskin, sehingga perlu perhatian khusus. Misalnya daerah di sekitar Pegunungan Dieng dan Gunung Prau, di Jawa Tengah bagian tengah.
Dua dasawarsa lalu, empat wilayah di sana, yaitu Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga termasuk dalam 10 wilayah paling miskin di Jateng.
Tahun 2020, keempat wilayah yang sama malah masuk dalam lima wilayah dengan angka kemiskinan paling tinggi di Jawa Tengah.
Keempat wilayah “kluster Dieng” itu merupakan daerah yang digerakkan oleh sektor pertanian. Lokasinya relatif terisolir dari poros perekonomian pantai utara Jawa.
Agaknya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membangun akses baru yang dapat menurunkan ongkos logistik dari dan ke wilayah pegunungan ini.